Mandek Dua Tahun, Tol Medan-Binjai Terhambat Pembebasan Lahan
Pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai di Sumatera Utara terbengkalai selama dua tahun akibat kendala pembebasan lahan. Kepolisian bakal menindak tegas warga yang menduduki lahan tanpa bukti kepemilikan sah.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pembangunan jalan tol Medan-Binjai di Sumatera Utara terbengkalai selama dua tahun akibat kendala pembebasan lahan. Kepolisian bakal menindak tegas warga yang menduduki lahan tanpa bukti kepemilikan sah.
Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Inspektur Jenderal Agus Andrianto menyatakan, pihaknya akan mengamankan proses pembebasan lahan. ”Kepada mereka yang menguasai lahan tanpa bukti kepemilikan yang sah, saya sampaikan kami akan proses dengan tegas. Jangan sampai proyek strategis nasional terganggu,” kata Agus saat meninjau pembangunan tol di Medan, Rabu (19/6/2019).
Agus meminta masyarakat mendukung pembangunan jalan tol. Penyelesaian jalan tol tersebut sudah terlambat dua tahun karena terkendala pembebasan lahan di Kelurahan Tanjung Mulia Hilir, Kecamatan Medan Deli.
Hingga kini, ruas tol yang awalnya direncanakan sepanjang 16,8 kilometer baru tersambung sekitar 13 km. Ruas tol yang terputus menyebabkan pengguna jalan masih minim. Pembebasan lahan terkendala karena lahan diduduki warga. Meski demikian, ada juga di antara mereka yang mempunyai sertifikat hak milik.
Ketua Tim Pengadaan Lahan yang juga Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara Bambang Priono mengatakan, pembangunan jalan tol medan-Binjai terkendala pembebasan lahan sepanjang 800 meter.
Lahan tersebut diduduki 549 keluarga selama puluhan tahun. Pemerintah awalnya tidak bisa membayar ganti rugi kepada warga karena tidak mempunyai dasar hak. Namun, belakangan, ada sembilan orang yang mempunyai sertifikat hak milik atas lahan tersebut.
Permasalahan tersebut, kata Bambang, sebenarnya sudah mendapat titik terang setelah ada diskresi dari Kementerian Keuangan, Kejaksaan Agung, dan Polri. Mereka sepakat agar warga mendapat ganti rugi sebanyak 70 persen dan pemilik sertifikat 30 persen.
”Namun, warga yang mendapat ganti rugi hanya mereka yang mempunyai bangunan dan surat keterangan dari kelurahan,” kata Bambang.
Warga yang mendapat ganti rugi hanya mereka yang mempunyai bangunan dan surat keterangan dari kelurahan.
Akan tetapi, menurut Bambang, belakangan para penggarap lahan yang bertani di lahan tersebut pun menuntut ganti rugi. ”Penggarap lahan menuntut ganti rugi padi, pisang, dan tanaman lainnya. Jelas kami tidak bisa memberikan ganti rugi karena mereka hanya bertani di sana dan tanpa izin pemilik lahan,” katanya.
Pimpinan Proyek Tol Medan-Binjai dari PT Hutama Karya, Hestu Budi, mengatakan, mereka belum bisa memulai pengerjaan di sepanjang 800 meter lahan tol tersebut. Padahal, pembangunan tersebut sangat penting karena akan menghubungkan Tol Medan-Binjai dengan ruas tol lainnya.
”Jika pembebasan lahan bisa segera dilakukan, kami optimistis bisa menyelesaikan konstruksi paling lama Desember tahun ini,” katanya.
Hestu mengatakan, jalan tol tersebut seharusnya selesai pada 2017. Namun, hingga kini, jalan tol baru beroperasi dari Gerbang Tol Binjai hingga Gerbang Tol Marelan sepanjang 13 kilometer. Jumlah pengguna tol pun belum maksimal karena ruas tersebut belum tersambung ke ruas lain yang sudah terbangun (existing).
Penyelesaian pembangunan konstruksi, menurut Hestu, akan menghubungkan Tol Medan-Binjai dengan ruas Tol Belawan-Medan-Tanjung Morawa sepanjang 34 km dan Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi sepanjang 61,8 km. Jika sudah tersambung, Tol Medan-Binjai akan terhubung ke Kota Medan, Pelabuhan Belawan, Bandara Kualanamu, hingga Kota Tebing Tinggi.
Pekerjaan konstruksi di lahan tersebut termasuk rumit karena menyatukan dua ruas tol sekaligus menjadi satu Gerbang Tol. Untuk itu, di Gerbang Tol Tanjung Mulia akan dibangun simpang susun hingga tiga lapis jalan layang dengan 10 jalur jalan.