Kawasan hutan di Sulawesi Tenggara yang menjadi penopang lingkungan harus dijaga dengan tidak mudah memberikan izin pengelolaan khususnya untuk sektor tambang. Praktik itu rentan menambah kerusakan sekaligus mengancam kehidupan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Kawasan hutan di Sulawesi Tenggara yang menjadi penopang lingkungan harus dijaga dengan tidak mudah memberikan izin pengelolaan khususnya untuk sektor tambang. Praktik itu rentan menambah kerusakan, sekaligus mengancam kehidupan lewat berbagai dampak buruk seperti banjir bandang yang kini melanda wilayah itu.
”Kawasan hutan itu penyangga kehidupan dan memiliki peran yang sangat penting bagi lingkungan. Akan tetapi, mengapa selama ini begitu mudah dikeluarkan izin pengelolaan? Padahal, kondisi lingkungan di sejumlah wilayah di Sulawesi Tenggara sudah kritis rusak karena pertambangan dan perkebunan kelapa sawit,” tutur Kepala Kampanye Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar, dihubungi dari Kendari, Rabu (19/6/2019).
Ia menjelaskan, pemerintah memang membuka ruang untuk perusahaan mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Berbagai syarat administratif perlu dipenuhi sebelum izin keluar dan bisa dimanfaatkan. Namun, hal ini sekaligus membuka ruang terjadinya perubahan kondisi hutan yang bisa berdampak luas. Terlebih lagi, sebagian kondisi hutan di Sultra kini kritis.
Total luas hutan kritis di wilayah ini mencapai 300.000 hektar. Kondisi hutan yang kritis dan sedimentasi di wilayah daerah aliran sungai (DAS) diduga kuat menyebabkan banjir dengan cepat merendam sejumlah wilayah.
Selama dua minggu terakhir, banjir merendam Kabupaten Konawe Utara, Konawe, Konawe Selatan, dan Kabupaten Kolaka Timur. Banjir yang memutus sejumlah jalan, jembatan, dan membuat ratusan rumah rusak ini merupakan banjir terparah melanda Sultra. Konawe Utara terdampak banjir terparah. Sedikitnya empat kecamatan terisolasi akibat banjir kali ini.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Sultra, terdapat 50 perusahaan pemegang IPPKH hingga 2018. Total luas lahan hutan yang diizinkan untuk dieksplorasi dan dieksploitasi sebesar 43.638 hektar. Sebagian besar perusahaan pemegang izin tersebut diperuntukkan bagi pertambangan nikel. Kabupaten Konawe Utara adalah daerah dengan pemegang izin terbanyak, yaitu 23 izin, dengan total luas 10.158 hektar.
Sementara itu, menurut Buku Status Hutan dan Kehutanan 2018, IPPKH untuk pertambangan secara nasional seluas 402.620 hektar, dengan total izin 588 perusahaan. Jika membandingkan dengan data di Sultra, berarti sekitar 10 persen dari pemegang IPPKH nasional sekaligus luasan hutan yang dipinjamkan kepada perusahaan berada di Sultra.
”Yang kami lihat adalah adanya persoalan mendasar perspektif pemerintah dengan kawasan hutan itu sendiri. Meski pemerintah sadar keberadaan hutan itu penting, yang terlihat adalah kepentingan ekonomi semata. Ada potensi keuangan dari tambang atau sawit dengan mudah mengeluarkan IPPKH,” ucapnya.
Oleh karena itu, lanjut Melky, dirinya mendorong pemerintah untuk melihat kembali izin pemanfaatan hutan yang selama ini dikeluarkan. Berbagai catatan dan pengalaman advokasi Jatam di sejumlah daerah, IPPKH hanya menambah buruk kondisi hutan, sekaligus membuka banyak ruang baru pelanggaran dan celah tindak koruptif. Perbaikan kawasan hutan akan lebih menyelesaikan masalah dibandingkan penanganan pascabencana.
Kepala Bidang Perlindungan dan Pengawasan Hutan Dinas Kehutanan Sultra Sahid mengatakan, IPPKH dikeluarkan kementerian dengan syarat yang berlapis. Pihaknya hanya memberikan pertimbangan teknis, sementara gubernur memberikan rekomendasi.
”Persyaratannya tidak mudah. Banyak hal yang harus dipenuhi sebelum izin itu keluar. Bisa berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Tahun ini saja sudah ada beberapa yang mengurus, tetapi belum keluar,” kata Sahid.
Perbaikan tanggul
Banjir besar yang melanda Sultra tidak hanya membuat puluhan ribu jiwa mengungsi. Sejumlah tanggul jebol dan tidak mampu menahan aliran sungai yang meluap deras. Pemerintah mulai melakukan perbaikan tanggul penahan di sejumlah lokasi banjir di wilayah Sultra. Perbaikan tanggul tanggap darurat ini diproyeksikan sebesar Rp 12,5 miliar.
Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi IV Kendari pada Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Haeruddin C Maddi menyebutkan, perbaikan tanggul untuk tahap tanggap darurat dilakukan sejak beberapa hari terakhir. Tanggul penahan dengan timbunan tanah mulai dilakukan di hulu Bendungan Wawotobi di Kecamatan Unaaha, Kabupaten Konawe.
”Tanggul penahan dari timbunan tanah itu ditargetkan sepanjang 500 meter. Selain itu, ada sejumlah lokasi yang akan dibuatkan tanggul, baik timbunan tanah maupun beronjong,” kata Haeruddin.
Untuk penanganan masa tanggap darurat, lanjut Haeruddin, pekerjaan tanggul akan difokuskan di beberapa desa. Untuk wilayah Sungai Konaweha, tanggul akan dibuat di Desa Abuki, Unaasi, Tongauna, dan Lawulo. Sementara untuk wilayah Sungai Lahumbuti, pekerjaan tanggul akan dibuat di Desa Hudoa, Uelawu, Wanuambae, Teteona, dan Dawi-dawi. Pekerjaan tanggul di dua lokasi ini diproyeksikan menelan anggaran sekitar Rp 12,5 miliar.
Meski demikian, pihaknya masih menunggu surutnya air untuk melakukan pendataan lebih lanjut terkait dampak banjir. Setelah air surut, pihaknya akan turun untuk mendata lokasi tanggul yang perlu ditangani secara darurat.
”Setelah tanggap darurat, kami juga memiliki rencana pascabencana. Sejumlah program jangka pendek disiapkan dan juga rencana jangka panjang. Pembangunan tanggul banjir, normalisasi sungai, hingga bendungan direncanakan agar menjadi penahan ketika debit air meningkat karena curah hujan tinggi,” lanjut Haeruddin.