Penambahan Pesawat dan Pembukaan Rute Baru Sebabkan Inefisiensi
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu penyebab inefisiensi industri penerbangan Indonesia ialah maskapai terus-menerus menambah armada pesawat dan rute penerbangan baru. Oleh karena itu, pemerintah diminta mengevaluasi kebijakan terkait kedua hal tersebut.
Anggota Ombudsman RI yang juga pengamat penerbangan, Alvin Lie, mengatakan, penambahan armada pesawat melampaui pertumbuhan pasar. Belum lagi ada pembukaan beberapa rute baru yang kurang diminati. Akibatnya, kapasitas angkut pesawat berlebih sehingga biaya operasional maskapai tinggi.
”Kondisi saat ini tidak terlepas dari kebijakan Kementerian Perhubungan yang terus mengizinkan maskapai tambah pesawat. Rute yang dipilih pun tidak menghidupi secara ekonomi sehingga terjadi inefisiensi,” kata Alvin di Jakarta, Rabu (19/6/2019).
Menurut Alvin, penambahan armada pesawat dan rute penerbangan menyebabkan inefisiensi perusahaan, salah satunya biaya pegawai. Maskapai tetap harus membayar gaji seluruh kru meskipun pesawat tidak terbang atau sedikit penumpang.
Sebagai gambaran, satu pesawat jenis Boeing atau Airbus harus didukung sedikitnya 4 set kru. Mereka terdiri dari 4 pilot, 4 kopilot, dan 4 awak kabin, atau sekitar 16 orang. Kapasitas pesawat Boeing atau Airbus sekitar 180 penumpang.
Alvin mengatakan, sekitar 80 persen biaya operasional maskapai digunakan untuk pembelian avtur, pengadaan dan perawatan pesawat, serta pembayaran pegawai. Maskapai dinilai tidak bisa lagi melakukan penghematan untuk pengadaan dan perawatan pesawat.
”Di luar itu, ada biaya-biaya yang tidak bisa dikendalikan maskapai, seperti jasa bandara, jasa navigasi, dan komisi untuk agen travel. Harga sewa bandara juga terus naik,” ujar Alvin.
Sekitar 80 persen biaya operasional maskapai digunakan untuk pembelian avtur, pengadaan dan perawatan pesawat, serta pembayaran pegawai.
Menurut Alvin, persoalan harga tiket pesawat yang dinilai tinggi harus ditilik dari berbagai aspek. Oleh karena itu, pemerintah mesti mengevaluasi kembali kebijakan terkait penetapan tarif batas atas, pembukaan rute penerbangan baru, dan penambahan jumlah pesawat.
Keinginan harga tiket pesawat rendah tetap harus memperhatikan kesehatan keuangan industri transportasi udara. Orientasi kebijakan jangan sekadar untuk melayani masyarakat kelas atas di kota-kota besar, tetapi juga warga yang tinggal di pelosok daerah.
Dalam kesempatan yang sama, President Director Aviatory Indonesia Ziva Narenda Arifin mengatakan, wacana pemerintah mengundang maskapai asing tidak serta-merta menurunkan tarif tiket pesawat. Maskapai asing dapat diundang untuk membuka rute penerbangan baru atau mendirikan anak perusahaan.
”Kedua opsi itu memiliki tantangan masing-masing. Pembukaan rute baru terkait aturan internasional, sementara pendirian anak perusahaan terkait modal,” kata Ziva.
Di sisi lain, lanjut Ziva, industri penerbangan dunia memang sedang lesu. Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memperkirakan laba industri transportasi udara secara global pada 2019 sebesar 28 miliar dollar AS, lebih rendah daripada laba 2018 yang diperkirakan 30 miliar dollar AS.
IATA menyebutkan, lingkungan bisnis industri penerbangan memburuk akibat kenaikan harga bahan bakar dan merosotnya kinerja perdagangan dunia. Situasi ini tidak terlepas dari eskalasi perang dagang Amerika Serikat dan China.
Kurs rupiah
Secara terpisah, Chairman CSE Aviation Consultant Chappy Hakim mengatakan, biaya operasional maskapai sangat sensitif terhadap kurs rupiah. Sekitar 95 persen komponen biaya operasional menggunakan mata uang dollar AS. Volatilitas kurs rupiah di luar kontrol maskapai sehingga memengaruhi proses penetapan harga jual tiket.
”Penetapan tarif tiket pesawat itu melalui proses panjang dan tidak semudah yang diperkirakan oleh publik. Biaya operasional yang dipengaruhi kurs rupiah memegang peran paling penting sebagai penentu strategi dan dasar utama penetapan tarif tiket pesawat,” ujarnya.
Biaya operasional maskapai sangat sensitif terhadap kurs rupiah. Sekitar 95 persen komponen biaya operasional menggunakan mata uang dollar AS.
Chappy menyebutkan, pemerintah mesti memisahkan peraturan tarif batas atas dan batas bawah untuk layanan penerbangan penuh (full service) dan penerbangan murah (low cost carrier). Tujuannya, agar jarak antara harga tidak terlalu tinggi sehingga memudahkan proses pemantauan. Aturan juga harus disesuaikan dengan perkembangan kurs dollar AS.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Nur Isnin Istiartono menambahkan, masukan dari berbagai pihak sudah ditampung pemerintah. Koordinasi dengan pemangku kebijakan terkait dengan penentuan tarif tiket pesawat juga masih berlanjut. Kebijakan yang diluncurkan tetap mempertimbangkan kondisi internal maskapai.