Tindak pidana perdagangan orang berkedok pengiriman tenaga kerja di Nusa Tenggara Barat masih marak terjadi. Sepanjang 2019, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat berhasil mengungkap empat perkara dengan 7 tersangka dan 11 korban. Satu korban di antaranya anak di bawah umur.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA/KHAERUL ANWAR
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Tindak pidana perdagangan orang berkedok pengiriman tenaga kerja di Nusa Tenggara Barat masih marak terjadi. Sepanjang 2019, Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat berhasil mengungkap empat perkara dengan 7 tersangka dan 11 korban. Satu korban di antaranya anak di bawah umur.
Kepala Subdirektorat IV Reserse Kriminal Umum Polda NTB Ajun Komisaris Besar Ni Made Pujewati di Mataram, Selasa (18/6/2019), mengatakan, empat kasus tersebut merupakan kasus perdagangan manusia ke Suriah. Pengungkapan kasus berdasarkan laporan korban yang ditindaklanjuti oleh kepolisian.
Tujuh tersangka, yakni BA, BE, AK, SJ, HM, BH, dan FY, ditangkap dengan kasus berbeda. Tersangka BA dan BE ditangkap pada awal April. Sementara AK, SJ, dan HM ditangkap pada akhir April dan awal Mei. Adapun tersangka FY dan BH masing-masing ditangkap pada 14 Juni dan 17 Juni.
”Dari tujuh tersangka, BA dan BE harus bertanggung jawab atas dua kasus. Pada salah satu kasus, yang menjadi korban mereka adalah anak di bawah umur,” kata Pujewati.
Modus para tersangka adalah menawarkan kepada korban sebagai tenaga kerja di luar negeri dengan iming-iming gaji tinggi. Pada kasus dengan korban anak UH yang berjenis kelamin perempuan, misalnya, mereka menawarkan gaji sebesar Rp 6 juta per bulan untuk bekerja di Abu Dhabi. Saat direkrut pada 2015, korban UH masih berusia 13 tahun.
Sebelum memberangkatkan UH ke negara tujuan, BA yang juga merekrut SH (kakak UH) membuat dan membiayai pembuatan kartu tanda penduduk, paspor, termasuk pemeriksaan kesehatan UH. Hanya saja, identitas UH yang tertera di dokumen itu palsu.
Setelah administrasi lengkap, UH dibawa ke Malang, Jawa Timur, dan ditampung oleh BE. Selanjutnya, UH dibawa ke Batam dan ditampung di sana selama beberapa hari. Dari Batam, UH diberangkatkan ke Malaysia dengan kapal feri dan ditampung lagi sebelum berangkat ke Abu Dhabi.
”Tetapi, kenyataannya, korban tidak dikirim ke Abu Dhabi, tetapi ke Damaskus, Suriah. Gaji yang diterima juga tidak sesuai dengan yang dijanjikan, yakni hanya Rp 2,3 juta per bulan. Selama bekerja di Damaskus, korban juga mendapatkan kekerasan fisik dan tidak diberi kebebasan untuk berkomunikasi,” kata Pujewati.
Tetapi, kenyataannya, korban tidak dikirim ke Abu Dhabi, tetapi ke Damaskus, Suriah. Gaji yang diterima juga tidak sesuai dengan yang dijanjikan, yakni hanya Rp 2,3 juta per bulan.
UH yang saat ini berusia 17 tahun sudah berada di Lombok. Ia kembali ke kampung halamannya di Lombok Utara pada 18 Mei 2019 lalu setelah ibu korban menghubungi pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia di Damaskus, Suriah.
Kedua tersangka, termasuk lima lainnya, saat ini sudah ditahan di Polda NTB. Khusus untuk BA dan BE, menurut Pujewati, mereka menjeratnya dengan Pasal 6 juncto Pasal 10 atau 11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Pasal 6 UU No 21/2007 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda minimal Rp 120 juta dan maksimal Rp 600 juta.
Gunung es
Secara terpisah, Ketua Divisi Advokasi Lembaga Perlindungan Anak NTB Joko Jumadi mengatakan, perdagangan anak UH merupakan yang pertama terjadi di NTB. Selama ini, kasus yang terjadi adalah perdagangan anak di bawah umur antardaerah.
Menurut Joko, kasus UH bisa jadi seperti fenomena gunung es dan bisa terjadi di daerah lain. ”Tetapi, belum terdeteksi. Kalau selama ini trennya adalah antardaerah. Misalnya, kemarin anak-anak dari Jawa Barat dikirim ke Senggigi,” kata Joko.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kejadian serupa, Joko dan pihaknya sedang mengembangkan program sistem administrasi kependudukan di enam kabupaten di NTB. Kalau sistem administrasi kependudukan berjalan bagus, tidak ada lagi pemalsuan.
”Saya heran, apakah empat tahun lalu (ketika AU direkrut) masih menggunakan KTP manual. Sekarang, kalau administrasi kependudukan diperbaiki sehingga semua anak punya akta kelahiran, kartu identitas anak, maka bisa mempersempit gerak pemalsuan usia anak,” kata Joko.
Pelaksana Tugas Kepala Imigrasi Kelas I Mataram Armand Armada Yoga Surya menambahkan, mereka juga turut mengantisipasi perdagangan orang semaksimal mungkin. Selain lewat wawancara, mereka juga mulai menerapkan sistem terintegrasi bersama Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Saat ini, sistem tersebut masih penyempurnaan. Tujuannya untuk memastikan data pendaftar. Jadi, sebelum membuat paspor, kita bisa cek data mereka. Kalau tidak sesuai, berarti ada indikasi pemalsuan,” kata Armand.