Pergub Tetap Jadi Acuan meski Disadari Tidak Lazim
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tetap beralasan penerbitan IMB di Pulau D atau Pantai Maju, pulau reklamasi di Teluk Jakarta, mengacu pada peraturan gubernur yang dibuat semasa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama. Peraturan tak mungkin dicabut karena pencabutan akan berimplikasi pada pembongkaran gedung-gedung yang sudah terbangun dan hilangnya kepastian hukum.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO dan HELENA F NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tetap beralasan penerbitan izin mendirikan bangunan di Pulau D atau Pantai Maju, pulau reklamasi di Teluk Jakarta, mengacu pada peraturan gubernur yang dibuat semasa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama. Ini sekalipun Anies mengetahui bahwa peraturan tersebut tak lazim untuk dijadikan dasar hukum.
”Lazimnya, tata kota ya diatur dalam perda (peraturan daerah), bukan pergub (peraturan gubernur). Itulah kelaziman yang tertib ya begitu. Memang konsekuensinya, menunggu perda itu perlu waktu lebih lama,” ujar Anies dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Rabu (19/6/2019).
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemprov DKI telah menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk 932 bangunan di Pulau D. Bangunan itu terdiri atas 409 rumah tinggal, 212 rumah kantor (rukan) yang sudah jadi, serta 311 rukan dan rumah tinggal yang belum selesai dibangun.
Penerbitan izin itu disebut Anies atas dasar Pergub Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, D, dan E Hasil Reklamasi Kawasan Pantai Utara Jakarta, yang ditandatangani oleh Basuki Tjahaja Purnama semasa menjabat Gubernur DKI.
Anies menjelaskan, Pergub 206/2016 membuat bangunan di atas tanah reklamasi Pulau D memiliki dasar hukum. Padahal, pulau itu belum ada dalam perda yang berisi rencana detail tata ruang (RDTR). Dia menduga Basuki berlindung di balik Pasal 18 Ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 yang menyebut, pemerintah dapat memberikan persetujuan mendirikan bangunan di sebuah kawasan yang belum tertera di Perda RDTR untuk jangka waktu sementara.
”Celah hukum inilah yang dijadikan pintu masuk dan menjadi dasar hukum bagi gubernur waktu itu untuk mengeluarkan Pergub 206/2016,” kata Anies.
Tak mencabut
Anies juga menjelaskan alasan dirinya tak mencabut pergub tersebut. Pencabutan pergub, menurut Anies, tak semudah itu. Sebab, mau tidak mau, pengembang telah menjadikan Pergub 206/2016 sebagai dasar membangun.
Pencabutan pergub itu tak hanya memiliki konsekuensi pembongkaran terhadap gedung-gedung yang sudah terbangun, tetapi juga hilangnya kepastian hukum.
”Jadi, tidak sesederhana itu. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada peraturan gubernur dan hukum karena pernah ada preseden seperti itu,” tutur Anies.
Namun, Anies memastikan 13 pulau yang direncanakan dibangun sesuai program reklamasi sejak 1997 akan dihentikan. Sebelumnya, disepakati pembangunan 17 pulau.
Penghapusan 13 pulau itu akan ditetapkan dalam Perda RDTR dan rencana tata ruang wilayah (RDTR), serta Perda Rancangan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Adapun empat pulau yang telanjur terbangun adalah Pulau C, D, G, dan N. Keempat pulau itu akan dikelola sepenuhnya oleh Pemprov DKI melalui PT Jakarta Propertindo.
”Hilangnya reklamasi dari Perda RDTR dan RTRW, serta RZWP3K adalah bentuk penghentian reklamasi sebagai program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Itu semua adalah cara legal untuk memastikan bahwa gubernur pada masa yang akan datang tidak bisa semena-mena melakukan reklamasi,” kata Anies.
Kepala Dinas Cipta Karta, Tata Ruang, dan Pertanahan Heru Hermawanto menjelaskan, sejauh ini, pihaknya masih menunggu hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta terhadap dua rancangan perda yang diajukan Pemprov DKI tersebut.
Dalam raperda itu, lanjut Heru, akan lebih disempurnakan lagi rencana tata ruang wilayah dan rencana detail tata ruang dari pulau-pulau yang ada.
Menurut dia, sejauh ini, yang diajukan dalam perda tersebut adalah empat pulau reklamasi yang sudah terbangun dari rencana 17 pulau. Empat pulau itu adalah Pulau C, D, G, dan N.
”Perda Nomor 8 Tahun 1995, kan, memang sudah memuat pulau reklamasi, tetapi penamaan pulau tidak disebut dengan tegas. Namun, secara substansi pulau-pulau reklamasi sudah tergambar dalam peta lampiran perda tersebut. Nanti di perda yang baru akan disempurnakan,” kata Heru.