Robot, Eksim, dan Salep Ekstrak Nangka Berbuah Emas
Berkat penelitian deteksi dini penyakit eksim, robot bawah laut, dan salep getah nangka, beberapa mahasiswa Indonesia mencetak prestasi internasional. Prestasi ini membuktikan, banyak anak muda Indonesia yang keren.
Penelitian tentang deteksi dini eksim dibuat oleh tim Phoenix yang beranggotakan tiga mahasiswa Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung. Mereka adalah Albert Sahala Theodore (Teknik Informatika), Johan Poernomo (Teknik Elektro), dan Rifda Annelies (Sistem dan Teknologi Informasi).
Mereka menawarkan ide inovasi gelang bersensor yang diberi nama EZBand untuk dapat mendeteksi gejala penyakit eksim (eczema) pada anak. Inovasi itu membawa mereka menjadi pemenang utama di ajang L’Oreal Brandstorm International Finals 2019 yang berlangsung di Paris, Perancis, pada 21 Mei 2019.
Ini adalah kompetisi inovasi terbesar di dunia untuk mahasiswa dengan peserta dari 65 negara dan sudah berlangsung selama 27 tahun. Tim Phoenix dari Indonesia ini mengalahkan lima tim negara lain, yakni India, Amerika Serikat, Portugal, Jerman, dan Kanada yang masuk top six dari 65 negara.
”Tentu saja kami merasa bangga. Jujur, enggak terpikir sampai bisa menang. Meskipun percaya diri, sih, dengan inovasi kami. Tetapi, ini kan ada 65 negara dan ada negara yang memang sudah terkenal inovasinya. Nah, ketika tiba-tiba Indonesia dipanggil, wah, rasanya bangga. Indonesia punya kemampuan,” ujar Albert yang ditemui di kantor pusat L’Oreal Indonesia di Jakarta, Jumat (14/6/2019) lalu. Hadir pula Johan dan Rifda sambil menunjukkan piala kemenangan yang diraih.
Ketiga mahasiswa ini teman kuliah yang memang suka membentuk tim untuk ikut lomba inovasi. Ketika ada pengumuman kompetisi inovasi L’Oreal Brandstorm Indonesia, Albert mengajak dua temannya untuk bergabung.
Mereka sepakat untuk fokus menghadirkan teknologi mengatasi penyakit eksim yang mendukung pemanfaatan produk dari L’Oreal untuk mengatasi eksim yang cukup banyak diderita anak-anak hingga orang dewasa.
Albert mendapat cerita dari temannya semasa SMA yang sudah menderita eksim sejak kecil. Lalu, Rifda mendukung dengan hasil riset bahwa penyakit eksim cukup banyak diderita, terutama oleh orang Eropa dan Amerika Serikat. Sementara itu, Johan menggali informasi dari temannya yang dokter sehingga didapat informasi, pengobatan yang dilakukan masih konvensional, yakni pengobatan ke dokter dan belum menggunakan teknologi.
Robot bawah laut
Inovasi mahasiswa Indonesia juga bisa diperhitungkan di bidang robotika. Saat ini, delapan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) yang tergabung dalam Autonomous Marine Vehicle Team UI (AMV UI) sedang berada di Florida, Amerika Serikat, hingga 25 Juni 2019. Tim ini sebelumnya memenangi ajang kompetisi The 3rd ASEAN MATE Underwater Robot Competition yang berlangsung pada 4-5 Mei 2019 di Surabaya. Dengan kemenangan ini, tim AMV UI langsung mewakili Indonesia serta tingkat regional ASEAN ke Amerika Serikat.
Mereka berjuang untuk membuktikan robot Makara 08 Mark II. Itu robot bawah laut yang dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi korban kapal tenggelam, membantu pencarian puing-puing properti yang tenggelam, serta memudahkan proses pekerjaan inspeksi lambung kapal dan pekerjaan lain yang sulit dan riskan jika dilakukan manusia. Karya mereka layak jadi inovasi yang diperhitungkan.
Ketua AMV UI Alif Hikmah Fikri (Teknik Perkapalan 2016) mengatakan, untuk kompetisi di AS, timnya sempat menghadapi masalah koper yang berisi barang-barang produk inovasi mereka tertukar. Alhasil, tim ini harus bekerja keras untuk merakit ulang semua komponen elektrik. Selain Alif, tim terdiri dari Fikih Muhamad, Grace Missrani, Yoga Dwiputera, Auli Rahman, Joshua Alviando, dan Ahmad Mufin R.
”Keterlibatan kami dalam inovasi karena ingin Indonesia tidak tertinggal dalam pengembangan marine vehicle yang dikembangkan secara global. Keikutsertaan dalam lomba internasional untuk terus mengembangkan maritime robotic yang mengharumkan Indonesia dan menginspirasi mahasiswa dari perguruan tinggi lain,” ujar Alif.
”Turnamen ini menjadi ajang pembuktian bahwa mahasiswa seperti kami juga telah mampu mengkreasikan sebuah inovasi dan mampu menjawab kebutuhan industri akan teknologi tanpa awak,” katanya.
Dengan berkolaborasi dan diberi wadah, anak-anak muda Indonesia mampu melahirkan beragam ide inovasi berbasis teknologi. Indonesia mampu unjuk kemampuan lewat anak-anak muda yang gigih dan cinta negerinya.
Salep
Sementara empat mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, Surabaya, April 2019 lalu, juga meraih medali emas dan penghargaan spesial pada kompetisi inovasi Shanghai International Exhibition of Inventions 2019 di Shanghai, China. Keempat mahasiswa tersebut, Handini Indah, Dwi Yanti Rachmasari Tartila, Shavira, dan Rezkisa Dwi Prambudia, membawa salep penyembuh luka yang dibuat dari ekstrak daun nangka. Ini prestasi pertama yang diraih empat mahasiswa tersebut dalam sebuah kompetisi.
Ide pembuatan salep dari bahan alami itu datang dari Dwi Yanti, mahasiswa semester VI asal Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Suatu hari, saat ia sudah kuliah, terpikir dalam benak Yanti untuk membuat obat alami penyembuh luka.
”Saat aku kecil, aku pernah lihat Mama mengobati luka terbuka pakai daun nangka yang ditumbuk. Kemudian, pas SMP, aku punya jerawat, lalu mencoba mengobatinya dengan daun nangka yang ditumbuk. Ternyata jerawat itu kempes, lalu hilang,” tuturnya pada Senin (17/6/2019) malam.
Pertimbangan lain, ia ingin mengembangkan tanaman asli Indonesia yang sudah dikenal punya khasiat sebagai tanaman obat. Daun nangka, misalnya, selain punya khasiat, juga mudah ditemui di banyak tempat.
Kejadian itu memunculkan ide untuk meneliti khasiat daun nangka. Ia kemudian mencari jurnal ilmiah dari dalam dan luar negeri untuk mencari referensi. ”Ternyata, menurut jurnal, khasiat daun nangka benar seperti itu. Hanya, saya tak mau menumbuk daun nangka seperti dulu, he-he-he,” lanjutnya.
Yanti dan kawan-kawan kemudian membuat penelitian sambil mencoba membuat salep di laboratorium Fakultas Farmasi Unair dibantu dosen fakultas tersebut.
Tak cukup hanya membuat salep, ia kemudian menguji coba ke luka terbuka yang dialami teman indekosnya. ”Ternyata dalam tempo 3-5 hari, luka terbuka itu menutup kembali dan sembuh setelah diolesi salep dari ekstrak daun nangka,” ucapnya.
Dalam kompetisi itu, selain harus tampil menjelaskan temuannya, Yanti dan tim juga membuka stan yang menampilkan karya mereka dalam pameran inovasi di tempat yang sama. Pada waktu itu, ia mendapat tawaran dari beberapa orang dari China yang ingin mengimpor produknya. Namun, Yanti menolak tawaran itu setelah mendapat saran dari pihak Kedutaan Besar RI di China.
”Menurut petugas dari KBRI, lebih baik kami mematenkan dulu produk ini sebelum dijual bebas. Saya juga masih ingin menyempurnakan salepnya agar lebih tahan lama, di atas tiga tahun. Berarti kami harus mencari bahan lain untuk membuat salep ini punya masa pakai lebih lama,” kata Yanti, yang saat SMA pernah mencoba membuat obat dari mengkudu dan belimbing wuluh.