Transparansi Satukan Semua Kekuatan
Wajah Desa Nita bisa jadi tak jauh beda dengan desa lain di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Namun, yang membedakan adalah tata kelola Desa Nita yang transparan dan akuntabel sehingga menuai sederet prestasi.
Desa Nita memiliki luas sekitar 1,96 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 3.555 jiwa yang tersebar di empat dusun dan 27 RT. Sebagian penduduk bermata pencarian sebagai petani, pedagang, PNS, dan perajin. Di desa ini terdapat puluhan pusat biara katolik dengan ribuan penghuni sehingga Nita dijuluki ”Desa 1.000 Biara”.
Desa Nita dilalui jalan Trans-Flores sehingga relatif mudah diakses. Jarak desa ke pusat kabupaten hanya sekitar 11 kilometer. Keberadaan Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Katolik (STFK) Ledalero Maumere di desa itu, dengan ratusan mahasiswa dan ribuan alumnusnya, membuat Nita tidak kesulitan sumber daya manusia. Beberapa kebijakan desa terinspirasi dari sana, termasuk dalam tata kelola desa.
Sejak 2014, sebelum ada alokasi dana desa pada 2015, Nita sudah menginisiasi penyusunan anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes). Inisiasi itu tidak lepas dari peran Antonius Luju yang baru menjabat setahun sebagai Kepala Desa Nita. Pria yang akrab dipanggil Hans itu melaporkan semua program kerja dan peruntukan keuangan secara terbuka kepada masyarakat. Caranya lewat baliho, spanduk, dan pamflet di kantor desa dan pusat-pusat keramaian.
”Sejak saya melaporkan semua secara terbuka kepada masyarakat, mereka mulai membuka mata. Seakan ada cahaya bagi mereka untuk memahami dari mana dana datang dan untuk apa dana digunakan. Partisipasi masyarakat pun meningkat jauh,” kata Hans yang juga lulusan sarjana STFK Ledalero Maumere.
Misalnya, APBDes 2019 senilai Rp 1,372 miliar bersumber dari pendapatan asli desa (PADes), transfer (dana desa dan alokasi dana desa), serta pendapatan lain-lain. Pemanfaatan dana itu, penyelenggaraan pemerintahan Rp 534 juta, pelaksanaan pembangunan Rp 588 juta, pembinaan masyarakat Rp 80 juta, pemberdayaan ekonomi masyarakat Rp 100 juta, dan penanggulangan bencana Rp 20 juta.
Empat dusun masing-masing mengelola Rp 10 juta dana desa dari total dana Rp 50 juta. Sisa Rp 10 juta yang diperebutkan empat dusun itu melalui adu argumentasi setiap dusun. Dana Rp 10 juta dimanfaatkan untuk keperluan dusun yang belum terakomodasi di dalam APBDes. Semua disampaikan kepada setiap keluarga lewat lembaran infografis dana Desa Nita 2019.
Berkat program transparansi, akuntabel, dan partisipasi, Nita keluar sebagai juara I lomba desa nasional 2016, juara I pengelolaan dana desa tingkat regional (Papua, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara), desa unggulan majalah Tempo kategori transparansi keuangan publik 2017, dan penghargaan praktik terbaik desa yang diselenggarakan Forum Pedesaan Nusantara dari Gubernur Jawa Barat.
Ada pula penghargaan kelompok sadar wisata terbaik tingkat kabupaten 2014, penghargaan Anubhawa Sasana Desa dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai desa sadar hukum 2015, penghargaan dari DPC Peradi Flores 2015 dalam kategori penghapusan KDRT desa, pembentukan produk hukum terbaik tingkat desa se-Kabupaten Sikka, juara I turnamen olahraga antardesa 2015-2017, juara I lomba desa tingkat kabupaten Sikka 2016, dan juara I lomba desa tingkat provinsi 2016.
”Sejumlah desa melakukan studi banding di sini, baik desa-desa di NTT maupun dari provinsi lain. Komisi Pemberantasan Korupsi datang melakukan evaluasi dan monitoring menyangkut transparansi dan akuntabilitas keuangan desa serta membuat film dokumenter administrasi laporan keuangan desa,” kata Hans.
Desa Nita memiliki komoditas unggulan kelapa, kakao, dan jambu mete. Pemasaran melalui koperasi tani desa, unit pengelolaan hasil desa, badan usaha milik desa (BUMDes), dan badan kerja sama antardesa. Warga juga diberdayakan dan didampingi dalam mengelola sumber alam.
Program desa
Sejumlah program desa disambut antusias warga. Di bidang pendidikan ada program gong belajar desa atau penetapan jam belajar dan program stimulan prestasi bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Desa ini juga membentuk Forum Anak Desa (Forades) yang dilibatkan dalam musyawarah perencanaan pengembangan anak. Di sana setiap tahun juga rutin digelar festival seni budaya anak.
Di bidang kesehatan, ada penempatan bidan di setiap dusun serta pemberian makanan tambahan bagi bayi dan ibu hamil dengan dana APBDes. Ada pula pendampingan ibu hamil secara berkala, senam ibu hamil dan sosialisasi kesehatan rumah tangga, serta penyediaan klinik VCT yang memberi layanan konseling dan testing bagi pasien yang didiagnosis terpapar HIV/AIDS.
Desa Nita juga punya program pekan olahraga desa dan festival seni budaya desa. Ada pula penyediaan internet (Wi-Fi) gratis di balai desa, bank sampah, kuliner rakyat, dan santunan solidaritas duka antarwarga. Setiap program merupakan hasil musyawarah perencanaan dan pengembangan yang disusun berjenjang, mulai dari RT, RW, dusun, hingga desa.
Desa ini juga mempertahankan kearifan lokal berupa ”tutur tatar sara Sikka”. Warga diwajibkan menggunakan bahasa daerah Sikka setiap Jumat. Ada pula kewajiban berbusana kain tenun motif Sikka pada acara resmi dan hari Jumat.
Gerardus Botu (60), warga Dusun Nita Weruoret, Desa Nita, mengatakan sangat bangga dengan transparansi dan akuntabilitas keuangan desa sehingga semua warga memahami program dan penggunaan keuangan desa. Namun, pemerintah desa masih punya pekerjaan rumah terkait program pemberdayaan ekonomi, khususnya bagi warga miskin,
”Lihat atap rumah saya masih berlubang dan bocor setiap musim hujan. Beberapa petugas dari desa sudah mendata rumah ini untuk mendapat bantuan. Mereka mengatakan sudah masuk dalam daftar tunggu. Saya menunggu janji itu,” kata Botu.