JAKARTA, KOMPAS — Belanja bunga utang yang tinggi menjadi salah satu sumber inefisiensi APBN. Beban bunga utang itu dapat dikurangi dengan disiplin fiskal menjaga defisit APBN di bawah 2,5 persen produk domestik bruto.
Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengatakan, bunga utang yang harus dibayar pemerintah setiap tahun rata-rata Rp 200 triliun atau sekitar 11 persen dari total alokasi belanja APBN. Belanja bunga utang bisa berkurang seiring kenaikan peringkat utang Indonesia.
”Citra mengelola fiskal yang sangat hati-hati perlu dipertahankan agar peringkat utang terus naik sehingga bunga utang bisa jauh lebih murah,” kata Febrio di Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Kenaikan peringkat utang akan memengaruhi imbal hasil surat berharga pemerintah. Semakin tinggi peringkat utang, imbal hasil surat berharga pemerintah semakin rendah sehingga bunga utang lebih murah. Belanja bunga utang pun berkurang dengan catatan tidak ada utang baru.
Menurut Febrio, senjata paling efektif untuk meningkatkan peringkat utang Indonesia adalah disiplin fiskal. Pemerintah mesti menjaga defisit APBN di bawah 2,5 persen produk domestik bruto secara konsisten dalam jangka pendek ataupun jangka panjang.
Bunga utang yang harus dibayar pemerintah setiap tahun rata-rata Rp 200 triliun atau sekitar 11 persen dari total alokasi belanja APBN. Belanja bunga utang bisa berkurang seiring kenaikan peringkat utang Indonesia
Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P), Fitch Ratings, dan Moody’s Investor Service menaikkan peringkat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- jadi BBB salah satunya atas pertimbangan disiplin fiskal. Pemerintah dinilai berhasil menjaga defisit APBN 2018 rendah, yakni 1,79 persen.
Pasca-ketiga lembaga itu menaikkan peringkat utang Indonesia, imbal hasil surat utang pemerintah tenor 10 tahun turun menjadi sekitar 7,7 persen dari sebelumnya di atas 8 persen. Jika Indonesia bisa naik satu peringkat lagi ke level BBB+, sangat mungkin belanja bunga utang kurang dari Rp 100 triliun.
”Salah satu kontributor risiko terbesar itu pemerintah. Jika pemerintah semakin hati-hati dan disiplin mengelola fiskal, dampak terhadap kepastian besar sekali,” kata Febrio.
Febrio menambahkan, kenaikan peringkat utang Indonesia bisa berdampak luas. Alokasi dana untuk belanja bunga utang bisa dialihkan ke belanja yang lebih produktif, seperti pembangunan infrastruktur atau peningkatan dana desa. Realokasi belanja akan memberi stimulus terhadap pertumbuhan ekonomi.
Mengutip data Kementerian Keuangan, kebutuhan penerbitan surat berharga negara (SBN) bruto tahun 2019 sebesar Rp 825,7 triliun. Penerbitan SBN itu digunakan untuk membiayai utang jatuh tempo Rp 382,74 triliun, defisit anggaran (SBN neto) Rp 388,96 triliun, dan pembiayaan non-utang Rp 54 triliun.
Defisit rendah
Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah akan sangat berhati-hati menjaga defisit APBN. Kebijakan fiskal tahun 2020 tetap ekspansif yang terarah dan terukur. Hal itu tecermin dalam target defisit anggaran yang tetap rendah, berkisar 1,52 persen-1,75 persen.
”Kebijakan diarahkan pada belanja yang lebih baik yang dibarengi inovasi pembiayaan,” kata Sri Mulyani.
Pada 2020, pemerintah menargetkan surplus keseimbangan primer atau berkisar 0-0,23 persen PDB dengan rasio utang berkisar 29,4-30,1 persen PDB. Penerimaan negara yang bersumber dari perpajakan juga terus dieksplorasi dengan target rasio pajak berkisar 11,8-12,4 persen PDB.
Sri Mulyani menambahkan, beberapa terobosan kebijakan mulai dirancang agar perekonomian tumbuh tinggi tanpa menekan kinerja ekspor dalam neraca pembayaran Indonesia. Terobosan itu, antara lain redesain belanja pemerintah untuk transfer dana ke daerah.
”Kriteria pemberian dana insentif daerah akan diperbarui agar daerah berlomba-lomba menarik investasi dan memperbaiki kinerja ekspor,” kata Sri Mulyani.
Ada empat kelompok sektor strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yakni industri hulu, manufaktur termasuk hilirisasi hasil komoditas, industri padat teknologi, dan jasa. Terobosan kebijakan itu juga untuk mendorong pertumbuhan investasi di atas 7 persen setiap tahun.