Upaya pengurangan risiko bencana menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk perguruan tinggi. Sayangnya, saat merespons bencana, perguruan tinggi, termasuk di Nusa Tenggara Barat, masih berjalan sendiri.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Upaya pengurangan risiko bencana menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk perguruan tinggi. Sayangnya, saat merespons bencana, perguruan tinggi, termasuk di Nusa Tenggara Barat, masih berjalan sendiri. Adanya Forum Perguruan Tinggi Pengurangan Risiko Bencana diharapkan memperkuat sinergi untuk menghadapi bencana.
Hal itu mengemuka dalam Lokakarya Peran Perguruan Tinggi dalam Pengurangan Risiko Bencana melalui Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana (FPT-PRB) Nusa Tenggara Barat, di Mataram, Kamis (20/6/2019).
Lokakarya tersebut dilaksanakan atas kerja sama antara Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) serta Oxfam, organisasi nirlaba yang berfokus pada pembangunan penanggulangan bencana dan advokasi.
Direktur Konsepsi Moh Taqiuddin mengatakan, perguruan tinggi di NTB yang berjumlah 23, baik negeri maupun swasta, mempunyai spesialisasi atau kompetensi inti. Hanya saja, jika belajar dari pengalaman saat respons gempa bumi yang mengguncang Lombok pada 2018, perguruan tinggi tersebut bekerja sendiri-sendiri. ”Bahkan sporadis. Padahal, pengelolaan atau respons bencana membutuhkan kerja sama,” ujarnya.
Dalam diskusi yang diikuti perwakilan 23 perguruan tinggi di NTB itu, peserta memang memaparkan bagaimana respons masing-masing ketika gempa mengguncang Lombok. Sebagian besar memaparkan apa yang mereka lakukan dengan sumber daya yang dimiliki. Hanya saja, masing-masing bergerak sendiri tanpa ada koordinasi dan sinergi antar-perguruan tinggi.
Berdasarkan hal itu, menurut Taqiuddin, melalui lokakarya, mereka ingin membangun partisipasi aktif perguruan tinggi dalam rangka membangun dan memperkuat ketangguhan masyarakat pedesaan terhadap bencana dan perubahan iklim. Salah satunya, dengan mendorong hadirnya FPT-PRB.
”Forum ini untuk koordinasi antar-perguruan tinggi, wadah sinergi, konsultasi, bahkan mediator antara kebutuhan masyarakat dan kebijakan pemerintah,” kata Taqiuddin.
Forum ini untuk koordinasi antar-perguruan tinggi, wadah sinergi, konsultasi, bahkan mediator antara kebutuhan masyarakat dan kebijakan pemerintah.
Geolog sekaligus dosen di Fakultas Teknik Universitas Mataram, Didi S Agustawijaya, yang hadir dalam lokakarya mengatakan, bencana bersifat multiaspek. Oleh karena itu, penanganannya juga harus multiaspek, tidak bisa sendiri-sendiri. ”Perguruan tinggi punya keahlian sendiri-sendiri yang bisa dikoordinasikan,” ucapnya.
Menurut Didi, forum antar-perguruan tinggi untuk pengurangan risiko bencana diperlukan. Dengan terbangunnya sinergi, koordinasi akan lebih baik dan respons terhadap bencana lebih cepat.
”Universitas Mataram, misalnya, punya Teknik Sipil yang diminta Pemerintah Kota Mataram untuk memeriksa gedung pascagempa. Hanya saja, akan lebih maksimal jika itu dibarengi dengan sosialisasi ke masyarakat atau sekolah dengan menggandeng, misalnya, Universitas Muhammadiyah Mataram yang sudah punya basis untuk itu,” tutur Didi.
Berbagai wilayah
Ketua Forum Perguruan Tinggi Nasional Eko Teguh Paripurno yang menjadi salah satu pembicara mengatakan, FPT-PRB didirikan sekitar 10 tahun lalu oleh sejumlah perguruan tinggi yang difasilitasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Saat ini, forum itu sudah terbentuk di sejumlah provinsi, antara lain Papua, Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Banten, yang didorong kegiatan di provinsi. NTB turut didorong karena salah satu wilayah penting sebab baru saja dilanda gempa bumi.
”Forum pengurangan risiko bencana ini bekerja sebelum, sesaat, dan sesudah bencana. Mereka bekerja sama dengan semua pihak, terutama pemerintah, dan juga masyarakat, lembaga usaha, termasuk media,” ujar Eko.
Ketua Lembaga Pusat Pengabdian Masyarakat Universitas Mataram Muhammad Ali, pembicara lainnya, mengatakan, semua komponen memang harus bersinergi dan mengambil bagian dalam adaptasi ataupun mitigasi bencana. Hal itu bertujuan untuk pengurangan risiko bencana.
Menurut Ali, negara yang memiliki potensi bencana yang besar seperti Jepang telah lama mendorong hal itu. Mitigasi bencana dimulai sejak dini, dari anak-anak hingga perguruan tinggi. ”Di sana, mereka diperkenalkan bencana sejak awal masuk perguruan tinggi,” katanya.
Sebaliknya, di Indonesia, menurut Ali, seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat sering kali lupa dengan bencana yang pernah terjadi. ”Oleh karena itu, saya melihat forum ini penting untuk terus menjaga pengalaman terkait bencana. Kalau tidak, akan luntur seiring dengan berjalannya waktu karena kita menganggapnya hal biasa,” ujarnya.
Negara yang memiliki potensi bencana yang besar seperti Jepang telah lama mendorong hal itu. Mitigasi bencana dimulai sejak dini, dari anak-anak hingga perguruan tinggi.
Ali mengatakan, Universitas Mataram juga memberikan perhatian penting pada mitigasi bencana, baik di level pendidikan, riset, maupun pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata tematik terkait kebencanaan.
Hal serupa dilakukan Universitas Muhammadiyah Mataram. Dekan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Mataram Ispanari yang juga menjadi pembicara mengatakan, sejak penanganan, mereka memaksimalkan seluruh kekuatan yang dimiliki. Begitu juga pascagempa dengan mengadakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) oleh mahasiswa Fakultas Teknik semester kelima hingga ketujuh untuk membangun hunian sementara bagi penyintas gempa.
Di sisi lain, mereka juga memiliki sarana prasarana, sumber daya manusia, termasuk jaringan ke Lembaga Penanggulangan Bencana Muhammadiyah (MDMC).