Kekeringan menyebabkan sejumlah petani bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, gagal panen. Selain hasil yang tidak optimal, petani juga merugi jutaan rupiah karena menanggung lonjakan biaya produksi hingga dua kali lipat untuk menggali sumur air bawah tanah dan mengoperasikan pompa air.
Oleh
KRISTI UTAMI
·4 menit baca
BREBES, KOMPAS – Kekeringan menyebabkan sejumlah petani bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, gagal panen. Selain hasil yang tidak optimal, petani juga merugi jutaan rupiah karena menanggung lonjakan biaya produksi hingga dua kali lipat untuk menggali sumur air bawah tanah dan mengoperasikan pompa air.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kabupaten Brebes, Yulia Hendrawati, Rabu (19/6/2019) mengatakan, sejauh ini baru dua kelompok tani yang melaporkan gagal panen akibat kekeringan di Kabupaten Brebes. Dua kelompok tani itu berada di Desa Krasak yakni Kelompok Karya Tani dengan luas lahan 5 ha dan Kelompok Bina Tani dengan luas lahan 4 ha.
Menurut Yuli, gagal panen sebenarnya tidak hanya terjadi di Desa Krasak. Sebab, lahan yang dilanda kekeringan juga meliputi daerah lain seperti Desa Banjaranyar dan beberapa desa lain di Kecamatan Losari.
“Luasan lahan yang gagal panen belum bisa kami data secara keseluruhan. Sebab, tidak semua petani yang gagal panen melapor,” ujar Yulia.
Salah satu petani bawang merah di Desa Krasak, Kecamatan Brebes, Herwanto (38) mengeluhkan gagal panen akibat kekeringan. Padahal, dirinya sudah mengeluarkan biaya tambahan untuk menggali air bawah tanah sebanyak dua kali. Lubang galian sumur yang pertama menghasilkan air asin, sehingga dirinya harus menggali lagi di tempat lain.
“Biaya yang dihabiskan untuk menggali sumur sekitar Rp 7 juta. Sementara biaya pengoperasian sumur dan pompa air sekitar Rp 210.000 per hari,” ucap Herwanto saat ditemui di Desa Krasak.
Lahan tanam bawang merah Herwanto seluas 0,25 hektar (ha). Untuk luas lahan tersebut, dia memerlukan sekitar 3 kuintal bibit senilai Rp 7,5 juta. Tak hanya itu, saat panen tiba dia juga mesti mengeluarkan biaya panen dan angkut sebesar Rp 2 juta.
“Kalau ditotal, dari awal proses tanam hingga panen saya menghabiskan modal setidaknya Rp 16,5 juta. Sementara hasil panen tidak sampai Rp 11 juta. Hitungannya gagal panen kalau sudah begitu,” imbuh Herwanto.
Kalau ditotal, dari awal proses tanam hingga panen saya menghabiskan modal setidaknya Rp 16,5 juta. Sementara hasil panen tidak sampai Rp 11 juta. Hitungannya gagal panen kalau sudah begitu.
Herwanto bukan satu-satunya petani bawang merah di Desa Krasak yang gagal panen. Tursipah (58) juga mengalami nasib serupa. Pada musim tanam pertama ini, Tursipah menghabiskan modal sekitar Rp 20 juta untuk luasan lahan tanam sekitar 0,25 ha.
Dalam kondisi normal, Tursipah biasanya mampu memanen bawang merah sekitar 2 ton dengan harga jual Rp 24 juta. Namun, akibat kekeringan, lahan tanam miliknya hanya menghasilkan sekitar 8 kuintal dengan nilai jual sekitar Rp 9,2 juta. Artinya, dia merugi hingga Rp 10,8 juta.
“Untuk panen kali ini saya asal langsung jual saja. Rasanya tidak mungkin saya mematok bawang ini dengan harga tinggi. Sebab, kualitas bawang dari hasil panen ini memang jelek,” tutur Tursipah sembari menyortir bawang merah hasil panennya.
Berdasarkan pantauan Kompas, Rabu siang, ukuran bawang merah yang dihasilkan sebagian petani di Desa Krasak relatif kecil. Jika satu siung bawang merah pada umumnya berdiameter 2-3 sentimeter (cm), hasil panen petani di Desa Krasak hanya berdiameter sekitar 1 cm.
Menurut Tursipah dan Herwanto, pengairan lahan bawang menggunakan air tanah berisiko menghasilkan bawang dengan kualitas lebih buruk dibandingkan yang diairi air permukaan atau air sungai. Namun, saat kekeringan seperti saat ini, petani tak punya pilihan sumber air lain selain air tanah.
Pengairan lahan bawang menggunakan air tanah berisiko menghasilkan bawang dengan kualitas lebih buruk dibandingkan yang diairi air permukaan atau air sungai.
Yulia menjelaskan, normalnya, luas lahan tanam bawang merah di Kabupaten Brebes mencapai 30.000 ha. Dari luas lahan tersebut, bisa dihasilkan bawang sebanyak 320.000 ton per tahun. Menurut Yulia, dengan jumlah tersebut, Brebes mampu menyuplai sekitar 30 persen kebutuhan bawang merah nasional yakni 900.000 ton per tahun.
Untuk mencegah gagal panen meluas, menruut Yulia, DPKP Kabupaten Brebes telah menggelar rapat koordinasi dengan dinas-dinas lain terkait strategi suplai air. Sejauh ini, solusi yang ditawarkan adalah pompanisasi air dari sungai atau bawah tanah. Meski berisiko menurunkan kualitas, cara ini banyak dipilih petani yang sudah terlanjur menanam bawang merah.
Waduk menyusut
Tidak hanya Kabupaten Brebes, dampak kekeringan juga terjadi di Waduk Cacaban di Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal. Pada Rabu sore, volume air Waduk Cacaban tercatat tinggal 33 juta meter kubik. Adapun pada kondisi normal, volumenya sebesar 49 juta meter kubik. Penurunan volume air terjadi sejak April.
“Pada tanggal yang sama di tahun 2018, volume air Waduk Cacaban masih sebesar 35 juta meter kubik,” kata Petugas Pengelola Waduk Cacaban, Edi Kusworo.
Edi menambahkan, Waduk Cacaban difungsikan mengairi lahan pertanian seluas 17.481 hektar di Kecamatan Kedungbanteng, Kecamatan Tarub, Kecamatan Pangkah, Kecamatan Adiwerna, dan Kecamatan Kramat Kabupaten Tegal.
Dampak penurunan volume air Waduk Cacaban terlihat di sejumlah lahan pertanian di Desa Mandika, Kecamatan Tarub, Kabupaten Tegal. Pada Rabu sore, sebagian petani memanfaatkan air sungai yang masih mengalir untuk mengairi lahan mereka. Di sejumlah lokasi, terlihat mesin-mesin pompa yang mengalirkan air melalui pipa-pipa dari sungai ke areal sawah.