Penyebab kematian secara mendadak mantan Presiden Mesir Muhammad Mursi saat menjalani persidangan menjadi polemik antara para pegiat HAM dan Pemerintah Mesir.
KAIRO, KOMPAS — Penyebab wafatnya mantan Presiden Mesir Muhammad Mursi (67), Senin lalu, terus menjadi polemik antara Pemerintah Mesir di satu pihak dan Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia serta lembaga-lembaga pegiat HAM, seperti Human Rights Watch, di pihak lain.
Adapun suasana kota Kairo dan kota-kota lain di Mesir relatif tenang dan normal, tidak banyak terpengaruh oleh berita wafatnya Mursi. Aparat keamanan meningkatkan kesiagaan sebagai antisipasi kemungkinan terburuk akibat wafatnya Mursi, mantan presiden Mesir dari Ikhwanul Muslimin yang hanya menjabat satu tahun (2012-2013) itu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Mesir, Ahmed Khafez, dalam akun Facebook-nya, Rabu (20/6/2019), menolak sikap dan pernyataan Komisioner Tinggi HAM PBB yang menyerukan digelar penyidikan
independen dan transparan atas wafatnya Mursi. Khafez menyebut, pernyataan itu merupakan upaya politisasi wafatnya Mursi yang terjadi secara alamiah.
Ia menuduh sikap Komisioner Tinggi HAM PBB itu sebagai upaya menodai institusi negara Mesir dan transparansi lembaga hukum di negaranya.
Hari Selasa lalu, juru bicara Komisioner Tinggi HAM PBB, Rupert Colville, menyerukan digelar penyidikan independen dan transparan atas wafatnya Mursi saat proses persidangan. Menurut dia, kematian secara mendadak di pengadilan harus segera diikuti proses penyidikan cepat, transparan, komprehensif oleh lembaga independen untuk mengetahui penyebab kematian itu.
Colville menambahkan, ada kekhawatiran atas kondisi Mursi saat ditahan, termasuk akses mendapat perawatan kesehatan yang memadai, bertemu keluarga, dan melakukan komunikasi dengan pengacaranya dalam kurun enam tahun di penjara. Menurut Colville, Mursi telah ditahan di ruang terisolasi yang bisa jadi berdampak dan berandil atas wafatnya.
Laporan HRW
Direktur Human Rights Watch (HRW) untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Sarah Leah Whitson juga mengatakan, wafatnya Mursi merupakan perkara naif karena Pemerintah Mesir telah gagal memberi pelayanan kesehatan memadai dan tidak memberi akses memadai pula kepada keluarganya untuk mengunjungi Mursi.
Pada September 2016, HRW mengeluarkan laporan berjudul ”Kita di Pekuburan” berisi situasi penjara Aqrab, dekat kota Kairo, yang disebut sangat tidak berperikemanusiaan. Penjara Aqrab dikenal sebagai penjara yang dijaga sangat ketat. Sebagian besar tahanan politik berada di penjara tersebut, termasuk Mursi.
Pada 19 Juni 2017, HRW juga mengeluarkan laporan khusus tentang kondisi kesehatan Mursi. HRW dalam laporannya itu menyebut, Mursi tidak mendapat pelayanan kesehatan memadai sehingga terjadi pelanggaran hak-hak kesehatan bagi seorang di penjara.
Pemerintah Mesir menolak tuduhan Whitson. Lembaga negara urusan penerangan yang berada di bawah Pemerintah Mesir, dalam keterangan pers yang dikirim ke media asing di Mesir melalui e-mail, termasuk Kompas di Kairo, menyebutkan, HRW telah melakukan pembohongan publik. Disebutkan, HRW telah menuduh Mursi wafat karena tak mendapat pelayanan kesehatan yang memadai, tetapi HRW tidak menyertai bukti dan informasi yang mendukung tuduhannya itu.
Lembaga negara urusan penerangan itu menuduh HRW membangun opini menyesatkan untuk tujuan politik. Ditambahkan, suatu hal yang mengejutkan dan tidak masuk akal adalah Whitson mengeluarkan pernyataan tanpa bukti itu hanya kurang dari 30 menit dari pengumuman bahwa Mursi wafat. Lembaga itu menambahkan, satu-satunya pihak yang berwenang dan dipercaya soal penyebab wafatnya Mursi adalah jaksa agung Mesir.
Seperti diketahui, tim kejaksaan agung yang didampingi tim dokter setelah melakukan otopsi atas jenazah Mursi, Senin, menegaskan bahwa Mursi wafat secara alamiah dan tidak ada bekas luka pada tubuhnya.