JAKARTA, KOMPAS — Aplikasi layanan keuangan dan perdagangan secara elektronik di Asia Tenggara menjadi target utama penipuan iklan atau biasa disebut ad fraud di sepanjang 2019. Konsumen dari dua aplikasi ini tumbuh tinggi seiring kian banyaknya masyarakat mengakses transaksi dalam jaringan.
Hal itu mengemuka dalam laporan AppsFlyer berjudul ”AdFraud Southeast Asia 2019”.AppsFlyer adalah perusahaan atribusi perangkat bergerak dan analisis pemasaran. Laporan AdFraud Southeast Asia 2019menganalisis aktivitas penipuan iklan dari 2,5 miliar instalasi dari 8.000 buah aplikasi di segmen hiburan, keuangan, gim, perdagangan secara elektronik atau e-dagang, perjalanan, dan keperluan sehari-hari. Periode penelitian dilakukan mulai triwulan IV-2018 hingga triwulan I-2019.
Aplikasi layanan keuangan memiliki target korban penipuan iklan tertinggi di wilayah Asia Pasifik sebesar 48,1 persen, diikuti aplikasi e-dagang 32,2 persen, dan baru perjalanan 29,7 persen.
Marketing Director AppsFlyer Beverly Chen dalam keterangan pers, Rabu (19/6/2019), di Jakarta, mengatakan, penipuan iklan dilakukan dengan robot dan pembajakan instalasi. Caranya adalah dengan menciptakan spam klik serta menduplikasi tindakan instalasi atau device farm sehingga menciptakan ilusi bagi konsumen.
”Asia Tenggara menjadi target penipuan karena jumlah warganya yang menggunakan ponsel pintar tumbuh tinggi. Penduduknya juga adaptif terhadap layanan digital. Selain itu, integrasi ke metode pembayaran elektronik berlangsung cepat. Tingginya pembayaran elektronik menguntungkan penipu,” tuturnya.
Penipuan iklan mendistorsi dan mencemari data yang menjadi andalan pebisnis. Oleh karena itu, pengusaha bersama tim pemasarannya perlu memiliki solusi perlindungan siber sistem aplikasi berlapis-lapis. Mereka juga harus tetap waspada terhadap meningkatnya ancaman robot, akses nonmanusia, dan berbagi teknik kejahatan baru.
”Tampaknya tidak banyak jumlah laporan mengenai besarnya masalah karena tenaga pemasaran di kawasan tersebut lebih fokus ke model bisnis cost per action untuk mengukur efektivitas aplikasi daripada model cost per install,” kata Beverly. (MED)