JAKARTA, KOMPAS—Sistem pemantauan kondisi gambut yang cepat, informatif, dan akurat dibangun Badan Restorasi Gambut untuk mendeteksi dini antisipasi kebakaran hutan dan lahan. Sistem bernama Pranata Informasi Restorasi Ekosistem Gambut atau PRIMS yang sedang dalam tahap penyelesaian itu menggabungkan pemantauan tinggi muka air tanah dan citra radar satelit.
Metode yang disebut hibrid oleh Badan Restorasi Gambut atau BRG tersebut dikembangkan para pakar dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional atau LAPAN serta sejumlah lembaga lain dibantu pakar luar negeri, termasuk FAO. Penggunaan citra radar diharapkan bisa menjadi informasi awal kondisi kebasahan gambut yang menunjukkan kerentanan akan potensi kebakaran.
Kepala BRG Nazir Foead, Rabu (19/6/2019) di Jakarta, mengungkapkan komponen dalam PRIMS tersebut terdiri beberapa sistem yang telah dibangun. Misalnya, Sistem Pemantau Air Lahan Gambut (Sipalaga) yang mengetahui tinggi muka air tanah (TMAT).
Selain menjadi indikator kerusakan gambut – bila TMAT lebih dalam dari 0,4 meter atau 40 cm seperti disebutkan dalam PP 71/2014 jo PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut – Sipalaga yang bisa diakses secara daring dan real time itu menggambarkan kerentanan gambut.
Saat ini, BRG menempatkan 142 alat pemantau TMAT di lokasi kerjanya, kecuali Papua. Alat pemantau TMA itu akan merekam parameter tinggi muka air, kelembaban tanah dan curah hujan per 10 menit serta akan mengirimkan datanya tiap hari ke peladen yang dikelola di kantor BRG.
Nazir menunjukkan Sipalaga dalam satu bulan terakhir yakni 18 Mei – 18 Juni – menunjukkan tingkat kewaspadaan. “Bila dirata-rata, air yang agak banjir di akhir Mei sudah mulai turun, drop-nya semakin tajam sampai 1 meteran. Ini patut diwaspadai,” ujarnya.
Bila dirata-rata, air yang agak banjir di akhir Mei sudah mulai turun, drop-nya semakin tajam sampai 1 meteran. Ini patut diwaspada.
Dari rilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sistem serupa yang dinamai SiMATAG-0,4m atau Sistem Informasi Muka Air Tanah Gambut 0,4 meter, diluncurkan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar pada acara Asia-Pacific Forestry Week (APFW) 2019 di Incheon, Korea Selatan, 18 Juni 2019.
Sistem itu dibangun KLHK sebagai upaya pemantauan tingkat keberhasilan pelaksanaan pemulihan fungsi Ekosistem Gambut melalui pengumpulan database pemantauan TMAT dan curah hujan di areal konsesi kehutanan, perkebunan, dan lahan masyarakat.
Mengelola data
Database tersebut mengelola data pemantauan dari 9.603 titik pengamatan TMAT yang tersebar di Indonesia dan diperbarui secara kontinyu melalui aplikasi gawai. Informasi dari database itu bisa digunakan untuk mengetahui pemenuhan kewajiban pelaksanaan tata kelola air dengan indikator data pemantauan TMAT kurang dari 0,4 meter.
Nazir Foead menyebutkan, sistem Sipalaga dari BRG di masa depan akan menjadi bagian dari SiMATAG yang dibangun KLHK. Nazir menawarkan pengembangan pemantauan baru PRIMS yang memanfaatkan data pemantauan TMAT dengan citra satelit berbasis radar.
Metodenya mirip dengan yang dikembangkan Marryland University yaitu mampu memberikan peringatan ketika terdapat perubahan tutupan lahan atau perubahan kebasahan gambut dalam konteks restorasi gambut.
Langkah ini menjadi solusi karena dibutuhkan sangat banyak alat pemantau TMAT pada 8 juta hektar hutan/lahan gambut Indonesia yang rusak. TMAT bisa menjadi bagian dari peringatan bahaya ketika bisa melaporkan secara daring. Namun itu membutuhkan infrastruktur base transceiver station (BTS) maupun bisa memakai akses satelit namun berbiaya langganan mahal.
“Seperti perintah Presiden untuk mendeteksi secara cepat bisa dijalankan, kita ada teknologi dan sistem,” ujarnya.
Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah Fahrizal Fitri mengungkapkan, restorasi gambut menjadi salah satu fokus pemerintah daerah. Hal itu disebabkan hampir 20 persen wilayah Kalteng berupa gambut yang berada di 10 dari 14 kabupaten/kota. Selain itu, sebagian besar masyarakat Kalteng tinggal di kawasan gambut beserta aktivitas pertaniannya.
Ia menyebutkan target restorasi gambut di Kalteng seluas 583.000 ha yang merupakan luas gambut terbakar di Kalteng pada 2015. Ia yang juga Ketua Tim Restorasi Gambut Daerah Kalteng mengatakan hingga kini telah membangun 3.200 sumur bor dan 1.250 sekat kanal.