Sumber Pinjaman Belum Diawasi
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah belum mengawasi sumber dana pinjaman dalam bisnis teknologi finansial jenis pinjaman antarpihak. Padahal, penyaluran dana pinjaman ini rentan digunakan sebagai modus kejahatan tindak pidana pencucian uang. Hingga kini, belum ada regulasi yang mengatur pengawasan itu.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menjalin kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak tahun 2013 untuk menelusuri dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada usaha ekonomi digital, termasuk tekfin.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan, bisnis teknologi finansial rentan menjadi modus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) lantaran sulit untuk melacak sumber dana pemberi pinjaman. Sejauh ini, belum ada pengawasan terhadap sumber dana pinjaman tekfin.
Menurut Berly, uang yang diberikan sebagai pinjaman bisa saja dari sumber dana hasil kriminalitas lalu dipinjamkan ke tekfin dan berbunga. "Sehingga seakan-akan jadi penerimaan yang halal,",” ujar Berly Martawardaya, saat dihubungi, Rabu (19/6/2019).
Baca juga : Jerat Massal Tekfin Ilegal
Berly mengatakan, yang harus dilakukan pemerintah adalah membenahi sistem KTP elektronik supaya nasabah tekfin baik pemberi maupun penerima pinjaman bisa dipastikan identitasnya. Dengan demikian, memudahkan otoritas untuk melacak ataupun mengawasi sumber dana.
Analis Eksekutif Senior pada Fungsional Pengendalian Kualitas dan Monitoring Pengawas Sektoral-Grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme OJK Dewi Fadjarsarie Handajani mengakui, tekfin pinjaman antarpihak rentan terkait TPPU. Sebab, pemberi pinjaman dan peminjam tidak harus bertemu atau bertatap muka saat bertransaksi.
Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae mengatakan, sejauh ini pihak PPATK belum menemukan dugaan TPPU di industri tekfin. Namun, bisnis tekfin, terutama yang ilegal, tetap rentan digunakan sebagai modus TPPU.
Pelanggar hukum bisa menggunakan dana hasil korupsi atau tindak kejahatan lain untuk memberikan pinjaman di aplikasi tekfin pinjaman antarpihak. Dengan melakukan hal itu, dana ilegal seolah-olah menjadi legal.
Kondisi itu, lanjut Dian, bisa terjadi karena pelanggar hukum memanfaatkan regulasi dan pengawasan pemerintah yang masih lemah. ”Penegak hukum belum punya regulasi yang menjadi dasar hukum untuk mengawasi dan menelusuri dugaan tindak pidana pencucian uang yang terjadi di teknologi finansial,” ujar Dian.
Pelanggar hukum bisa menggunakan dana hasil korupsi atau tindak kejahatan lain untuk memberikan pinjaman di aplikasi tekfin pinjaman antarpihak
Sejauh ini, regulasi yang ada untuk pencegahan TPPU adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam PP itu, pihak pelapor dugaan TPPU antara lain perbankan, lembaga keuangan nonbank, penyedia barang dan jasa, serta profesional. Perusahaan tekfin belum termasuk dalam pihak pelapor. Untuk itu, Dian mengungkapkan, PPATK mendorong revisi PP dengan memasukkan pelaku industri tekfin sebagai pihak pelapor."Kami juga mengharapkan ada regulasi yang menjadi dasar hukum pengawasan terhadap tekfin dan aset digital," ucap Dian.
Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi, Tongam L Tobing mengatakan, salah satu penyebab banyaknya perusahaan tekfin yang tidak mengurus izin adalah agar bisa menyembunyikan kejelasan sumber dana-dana yang mereka salurkan.
Menteri Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, selama bertahun-tahun, penegak hukum bisa mengusut TPPU dengan menggunakan teori mengikuti jalur uang (follow the money). Seiring dengan perkembangan inovasi keuangan digital, modus alur penyaluran uang dan bentuk uang pun bisa berubah menjadi aset digital. ”Ini harus segera diantisipasi pemerintah dan penegak hukum sehingga tetap mampu melacaknya,” ujar Darmin.
Suaka pajak
Hasil penelusuran Kompas menemukan, salah satu pelaku usaha tekfin pinjaman antarpihak, PT DSI dengan aplikasi RupiahPlus dan Perdana, memiliki induk perusahaan beralamat di Kepulauan Cayman, salah satu negara suaka pajak.
Merujuk dokumen kepemilikan perusahaan yang diterbitkan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum dan Umum Kementerian Hukum dan HAM dengan tanggal akta 21 Maret 2019, pemegang saham PT DSI adalah DTL. Adapun DTL beralamat di Perkantoran Sertus Incorporations Limited, Sertus Chambers, Governors Square, Suite No 5-204, 23 Lime Tree Bay Avenue, Grand Cayman, Kepulauan Cayman.
PT DSI adalah perusahaan tekfin yang terdaftar di OJK pada 26 Februari 2018. Karena bermasalah dengan nasabah, aplikasi RupiahPlus tidak terdaftar lagi di OJK.
Korban tekfin
Secara terpisah, sejumlah korban tekfin pinjaman daring menggugat OJK dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kedua institusi itu dinilai gagal melindungi nasabah pinjaman digital. Mengutip data Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan dari 31 orang ini tercatat sejak 6 Februari 2019. Mereka juga menggugat 13 perusahaan tekfin.
Pada Selasa (18/6/2019), berlangsung sidang kelima dengan agenda mendengarkan legal standing dan memanggil para tergugat. Pengacara para penggugat Efendi Saman menjelaskan, kliennya adalah nasabah pinjaman digital yang mengalami sejumlah kerugian yakni dicurinya data pribadi tanpa izin serta dituduh menggelapkan uang perusahaan oleh penagih utang dari perusahaan tekfin.
Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot mengatakan, OJK menghormati proses hukum yang tengah berjalan. Menurut Sekar, Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Umum Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi juga mencantumkan upaya perlindungan terhadap konsumen tekfin.