Indonesia dan Chile, pada pertengahan Juni 2019, menggelar pertukaran instrumen ratifikasi perjanjian kemitraan ekonomi menyeluruh kedua negara. Peristiwa ini merupakan tonggak penting peningkatan hubungan perdagangan kedua negara, dengan komitmen saling menguntungkan.
Chile, secara bertahap, akan mengeliminasi 89,6 persen pos tarifnya atau 7.669 pos tarif bagi Indonesia. Sebaliknya, Indonesia berkomitmen mengeliminasi 86,1 persen tarif produk atau 9.308 pos tarif bagi Chile.
Ada harapan peningkatan perdagangan kedua negara yang selama ini terbilang minim. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, total perdagangan bilateral Indonesia-Chile pada 2018 hanya 274,1 juta dollar AS. Upaya mempererat kerja sama dengan negara mitra dagang perlu terus dilakukan, termasuk pada aspek tarif atau bea masuk produk ekspor Indonesia di pasar negara mitra. Bea masuk yang semakin kecil akan memberi suntikan daya saing produk ekspor dari sisi harga.
Belakangan, dunia menghadapi beragam tantangan. Perang dagang Amerika Serikat-China, misalnya, berdampak pada kecenderungan pelambatan pertumbuhan ekonomi global. Pertumbuhan perdagangan dikhawatirkan melambat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, terjadi defisit 2,56 miliar dollar AS pada Januari-April 2019. Defisit terjadi karena ekspor yang sebesar 53,2 miliar dollar AS lebih rendah dibandingkan dengan impor 55,77 miliar dollar AS.
Hal yang patut dicermati adalah tren penurunan ekspor dan impor, dengan penurunan ekspor yang lebih dalam daripada impor. Jika dibandingkan dengan Januari-April 2018, ekspor Indonesia pada Januari-April 2019 turun 9,39 persen, sedangkan impor turun 7,24 persen.
Pangsa ekspor nonmigas Indonesia ke China dan AS juga merosot. Ekspor nonmigas Indonesia ke China pada Januari-April 2018 sebesar 8,16 miliar dollar AS, yang turun menjadi 7,27 miliar dollar AS pada Januari-April 2019. Pada periode yang sama, ekspor nonmigas Indonesia ke AS turun dari 5,85 miliar dollar AS menjadi 5,54 miliar dollar AS.
Seberat apa pun tantangan, pasrah bukanlah karakter bangsa ini. Sekarang, saat terjadi perang dagang, kita harus terus berjuang.
Sinergi pemerintah dan dunia usaha Indonesia mutlak dibangun. Sikap saling topang, saling bantu, dan saling memudahkan akan memperkuat daya saing Indonesia.
Seberat apa pun tantangan, pasrah bukanlah karakter bangsa ini. Sekarang, saat terjadi perang dagang, kita harus terus berjuang.
Dalam konteks perang dagang AS-China, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno mencontohkan bentuk sinergi riil yang dapat dilakukan pemerintah dan dunia usaha. Pemerintah dapat membantu pengusaha dengan memasok data detail produk ekspor, lengkap dengan nomor sistem terharmonisasi, dari China yang dikenai kenaikan tarif oleh AS. Sebaliknya, produk ekspor dari AS yang dikenai kenaikan tarif oleh China juga ada datanya.
Yang tak kalah penting, kekuatan jaringan diplomasi lewat kedutaan besar, konsulat jenderal, atau atase perdagangan berpotensi dioptimalkan untuk memetakan pasar di negara lain. Serahkan peta itu kepada para eksportir Indonesia untuk berkiprah menggarap pasar.
Apalagi, berdasarkan Data Kementerian Luar Negeri yang disampaikan dalam Seminar Perdagangan Nasional dan Dialog Gerakan Ekspor Nasional beberapa waktu lalu, saat ini ada 132 perwakilan Indonesia di seluruh dunia.
Masih banyak alternatif langkah dan upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan ekspor. Namun, hal penting adalah terus mencari solusi untuk setiap masalah yang dihadapi.
Setidaknya, kita tidak hanya pasrah mengeluhkan faktor dari luar. Seberat apa pun tantangan, pasrah bukanlah karakter bangsa ini. Sekarang, saat terjadi perang dagang, kita harus terus berjuang.