JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia memutuskan mempertahankan suku bunga acuan 6 persen. Tingkat suku bunga acuan ini sudah berlangsung sejak 15 November 2018.
Keputusan yang diambil dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) ini ditetapkan di tengah keinginan sejumlah pihak agar BI menurunkan suku bunga acuan.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan, suku bunga acuan tetap 6 persen untuk mempertahankan daya tarik domestik.
Aliran dana yang masuk ke pasar keuangan Indonesia sejak awal Januari 2019 sampai dengan Kamis (20/6/2019) sebesar Rp 120,4 triliun. Dana ini masuk ke instrumen Surat Berharga Negara, saham, dan Sertifikat Bank Indonesia. Dana asing masih dibutuhkan Indonesia setidaknya untuk menutup defisit transaksi berjalan.
Kamis dini hari waktu Indonesia, Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, merilis hasil rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC). Dalam hasil rapat FOMC disebutkan, The Fed membuka ruang penurunan suku bunga acuan untuk pertama kali sejak 2008.
The Fed, di laman resminya, menyebutkan, suku bunga acuan dipertahankan pada kisaran 2,25-2,5 persen.
Namun, Gubernur The Fed Jerome Powell mengisyaratkan penurunan suku bunga acuan seiring risiko ketidakpastian ekonomi yang meningkat dan inflasi yang masih di bawah target 2 persen.
”Rekan-rekan FOMC dan saya memiliki satu tujuan yang sama untuk mempertahankan ekspansi ekonomi,” ujarnya.
Momentum
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, BI memiliki perhitungan sendiri dalam mempertahankan suku bunga acuan BI 6 persen.
”Mungkin BI khawatir rupiah melemah. Tidak apa-apa kalau BI mempertahankan suku bunga,” katanya.
Nilai tukar rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Kamis, sebesar Rp 14.236.
Namun, Hariyadi menilai, saat ini merupakan momentum untuk memberikan relaksasi kepada dunia usaha dan mendorong perekonomian.
”Pemilu sudah selesai. Peringkat utang Indonesia juga dinilai masih bagus. Menteri Keuangan sudah memberi sinyal untuk menurunkan pajak penghasilan,” katanya.
Jika BI menurunkan suku bunga acuan, lanjut Hariyadi, secara psikologis dapat menjadi sinyal positif.
Ia menambahkan, Bank Dunia juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun ini menjadi 2,6 persen. Dengan demikian, dunia usaha membutuhkan kebijakan yang relaksasi untuk mengairahkan kegiatan ekonomi.
Likuiditas
RDG BI kemarin memutuskan untuk menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan sebesar 50 basis poin. Tujuannya, melonggarkan likuiditas perbankan. Dengan kebijakan itu, BI berharap likuiditas perbankan bertambah Rp 25 triliun dalam setahun ini.
Perry memaparkan, mulai 1 Juli 2019, rasio GWM bank konvensional menjadi 6 persen, sedangkan bank syariah menjadi 4,5 persen.
Melalui kebijakan ini, BI optimistis kredit perbankan pada tahun ini dapat tumbuh sesuai batas atas target, yaitu 12 persen. Adapun dana pihak ketiga ditargetkan tumbuh 8-10 persen secara tahunan.
Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Ryan Kiryanto berpendapat, sinyal penurunan GWM cukup efektif untuk memberikan ruang gerak bagi perbankan untuk mengelola likuiditas tanpa harus menaikkan biaya dana. Bank juga lebih nyaman melaksanakan fungsi intermediasi dan ekspansi kredit.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja, Rabu (19/6/2019), menyebutkan, sejauh ini target BCA tidak berubah, yaitu kredit tumbuh 8-10 persen. Pada triwulan I-2019, pertumbuhan kredit konsumsi belum terlalu baik. (KRN/DIM/FER/IDR)