JAKARTA, KOMPAS--Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 0,25 persen menjadi 5,5 persen. Langkah itu untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik dan mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas aman.
Sejak pertengahan Mei hingga Agustus, BI sudah menaikkan suku bunga acuan 1,25 persen. Terakhir kali suku bunga acuan sebesar 5,5 persen pada Mei 2016.
Kenaikan suku bunga acuan itu diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur BI, Selasa (14/8/2018)-Rabu (15/8). BI juga menaikkan suku bunga simpanan rupiah bank di BI sebesar 0,25 persen menjadi 4,75 persen dan suku bunga pinjaman rupiah bank dari BI sebesar 0,25 persen menjadi 6,25 persen.
Investor merespons kenaikan suku bunga acuan BI sebab meyakini kebijakan moneter ini dapat mengurangi risiko investasi di pasar modal Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat anjlok ke level 5.689,93 sebelum jeda perdagangan siang, keluar dari zona merah setelah pengumuman kenaikan suku bunga acuan BI dengan menguat 0,81 persen atau 46,72 poin ke level 5.816,59.
Menurut analis Paramitra Sekuritas, William Siregar, IHSG merosot setelah Badan Pusat Statistik melaporkan neraca perdagangan Juli 2018 defisit 2,03 miliar dollar AS. Pada Januari-Juli 2018, neraca perdagangan defisit 3,09 miliar dollar AS.
Menarik
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, menjelaskan, BI ingin defisit transaksi berjalan Indonesia di bawah 3 persen produk domestik bruto (PDB), bahkan jauh di bawah itu. BI berupaya menurunkan defisit itu dari sisi penawaran dengan menaikkan suku bunga acuan.
Dengan menaikkan suku bunga acuan, imbal hasil portofolio Indonesia, terutama obligasi pemerintah, juga akan naik. Suku bunga riil akan terjaga, sehingga pasar keuangan domestik menarik bagi investor asing.
"Kebijakan suku bunga juga ditopang dengan pendalaman pasar keuangan. Di pasar valas misalnya, BI meningkatkan efektivitas penyediaan swap valas untuk operasi moneter dan lindung nilai dengan tingkat harga yang lebih murah," ujarnya.
Sejak 13 Agustus 2018, BI membuka lelang pasar swap valas berbagai tenor untuk menurunkan premi swap pasar.
Berbagai keputusan dan langkah BI, tambah Perry, untuk mengantisipasi dan merespons risiko ketidakpastian ekonomi dan keuangan global yang semakin tinggi. Risiko global itu antara lain rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat, ketegangan perdagangan AS dengan sejumlah negara mitra, dan dampak gejolak ekonomi Turki.
"Kami mendukung pemerintah untuk menurunkan defisit transaksi berjalan dengan mendorong ekspor dan menurunkan impor, termasuk penundaan proyek-proyek yang memiliki kandungan impor tinggi, terutama di sektor energi," ujarnya.
Defisit transaksi berjalan Indonesia pada triwulan II-2018 sebesar 8 miliar dollar AS atau 3 persen PDB. Adapun nilai tukar rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate pada Rabu sebesar Rp 14.621 per dollar AS.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, langkah BI menaikkan suku bunga acuan diharapkan berdampak positif bagi stabilitas pasar keuangan dan rupiah. Kebijakan itu menyebabkan bunga instrumen berdenominasi rupiah kian menarik bagi investor asing.
Direktur Strategi dan Kepala Makro Ekonomi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengingatkan pemerintah Indonesia untuk berhati-hati dengan defisit transaksi berjalan. (HEN/DIM)