Ditarik dari KPK, Irjen Firli Promosi Jadi Kapolda Sumsel
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
Angka 800 terpasang pada pilar Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Kamis (20/6/2019). Angka tersebut menunjukan 800 hari pasca penyerangan menggunakan air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Namun hingga saat ini penyelidikan atas kasus tersebut oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian masih belum menunjukan hasil yang signifikan.
JAKARTA, KOMPAS – Promosi Inspektur Jenderal Firli menjadi Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Selatan pasca penarikannya dari Komisi Pemberantasan Korupsi mendapat kecaman dari pegiat antikorupsi. Polri dinilai abai terhadap rekam jejak Firli dan tidak berpihak pada pemberantasan korupsi.
Penarikan Firli dari KPK menuai kontroversi sebab, sebelum penarikan dari Polri, Firli sebagai Deputi Penindakan KPK sedang menjalani proses pemeriksaan internal atas dugaan pelanggaran etik lembaga antirasuah tersebut.
Firli sedang diperiksa oleh Direktorat Pengawasan Internal KPK terkait pertemuannya untuk bermain tenis bersama Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi, atau yang dikenal dengan nama Tuan Guru Bajang (TGB). Pertemuan itu dilakukan pada saat KPK menyelidiki dugaan pelepasan saham (divestasi) PT Newmont Nusa Tenggara kepada PT Amman Mineral Internasional.
Kini, Firli dipromosikan menjadi Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Selatan. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo, Jumat (21/6/2019) di Jakarta, mengatakan, keputusan untuk mempromosikan Firli menjadi Kapolda Sumatra Selatan diambil dengan dasar prestasi Firli saat memimpin Polda Nusa Tenggara Barat (NTB).
“Karena (Firli) memiiki pengalaman yang cukup sukses ketika memimpin sebagai Kapolda di NTB, dalam hal pemeliharaan situasi kamtibmas. Terlebih lagi di NTB, ada beberapa wilayah yang cukup rawan terhadap kelompok terorisme,” kata Dedi saat ditemui di Mabes Polri, Jakarta.
Firli yang berasal dari Sumatra Selatan, dinilai memiliki kedekatan dengan karakter masyarakat di daerah tersebut. Hal ini menjadi pertimbangan dalam pergeseran tersebut.
“(Firli) berasal dari Sumatra Selatan, sama dengan Pak Zulkarnain. Artinya komunikasi secara intens dengan tokoh-tokoh setempat akan terjalin baik,” kata Dedi. Kapolda Sumatra Selatan yang akan digantikan Firli, Inspektur Jenderal Zulkarnain Adinegara, juga berasal dari Sumatra Selatan.
Dinilai abai
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyesalkan kebijakan Polri tersebut. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, Polri abai terhadap rekam jejak pegawainya dan menunjukkan ketidakberpihakan pada upaya pemberantasan korupsi.
Kurnia mengatakan, ICW pada Oktober 2018 telah melaporkan Firli atas dugaan pelanggaran etik ke KPK ketika Firli diketahui bertemu langsung dengan TGB di tengah penyelidikan perkara korupsi divestasi Newmont yang diduga melibatkan mantan Gubernur NTB tersebut.
Perbuatan Firli tersebut, kata Kurnia, telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 66 UU KPK, kata Kurnia, yakni setiap pegawai KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK.
“Bahkan jika aturan tersebut dilanggar terdapat ketentuan pidana yang memuat sanksi penjara paling lama lima tahun,” kata Kurnia.
Polri abai terhadap rekam jejak pegawainya dan menunjukkan ketidakberpihakan pada upaya pemberantasan korupsi.
Kurnia menilai, Polri seharusnya menunggu hasil dari pemeriksaan internal KPK, bukan menarik Firli sebelum putusan internal dijatuhkan.
Namun, Kurnia mengatakan, KPK juga dianggap telah abai terhadap penegakan etik dan lambat dalam memproses Firli. “Terhitung lebih dari enam bulan pasca laporan yang ICW sampaikan, namun hingga hari ini putusan tidak kunjung dijatuhkan oleh pimpinan KPK. Ini sekaligus menegaskan bahwa pimpinan KPK tidak mempunyai komitmen yang tegas dalam penegakan etik di internal,” kata Kurnia.