Indonesia Menabuh Gendang ASEAN
Pertemuan para menteri pertahanan di kawasan Asia Pasifik awal Juni lalu dalam Shangri-La Dialogue menunjukkan dengan vulgar kompetisi yang semakin meruncing antara China dan Amerika Serikat.
Pertemuan para menteri pertahanan di kawasan Asia Pasifik awal Juni lalu dalam Shangri-La Dialogue menunjukkan dengan vulgar kompetisi yang semakin meruncing antara China dan Amerika Serikat. Pertanyaannya, bagaimana peran Indonesia terkait hal ini. Salah satu terobosan penting dilakukan dengan mengonstruksi arsitektur keamanan di kawasan.
Meruncingnya perseteruan di antara kedua negara raksasa ini sangat terasa dalam pidato setiap pejabat tinggi pertahanannya. Walaupun tidak secara frontal menyebut negara rivalnya, pernyataan mereka cukup keras. Pejabat Menteri Pertahanan AS saat itu, Patrick M Shanahan, menyoroti China sebagai alat kekerasan di kawasan Indo-Pasifik.
Hal ini ditandai dengan menggunakan kekuatan militer di kawasan hingga mengganggu pemilu domestik negara lain hingga menggunakan utang sebagai senjata. Sementara Menteri Pertahanan China Wei Fenghe menyatakan, peningkatan kekuatan militer China adalah hal yang masuk akal. Ia juga menyatakan tidak menutup kemungkinan menggunakan kekuatan militer demi unifikasi Taiwan.
Dalam konteks seperti ini, negara-negara kecil dan menengah di Asia Tenggara mau-tidak mau menghadapi kondisi rivalitas yang dikhawatirkan akan membawa konflik terbuka di kawasan. Tentunya banyak pendapat yang menentang pendapat ini dengan argumen bahwa ada ketergantungan bersama secara ekonomi global.
Pihak lain juga melihat motif ekonomi lebih mengemuka dari China yang ingin memajukan konsep Belt Road Initiative serta Amerika yang punya kepentingan ekonomi untuk memajukan perdagangan dan produksinya, termasuk alat-alat militernya.
Di sisi lain, secara domestik kedua negara ini juga memiliki masalah masing-masing. AS, misalnya, harus menghadapi dua teater besar di kawasan Asia Pasifik dengan peningkatan China dan nuklir Korea Utara serta teater di Timur Tengah. Sementara China, selain menghadapi masalah Taiwan juga Hong Kong yang kian mempertanyakan kepemimpinan Xi Jingping.
Realitas yang dihadapi negara-negara di kawasan sangat mengkhawatirkan. Pidato Shanahan tidak dilihat menawarkan sesuatu yang nyata yang dapat memenuhi kepentingan negara-negara di Asia Tenggara. Sementara aksi China terlihat mengkhawatirkan.
Pada 9 Juni lalu, kapal nelayan Filipina ditabrak dan ditenggelamkan kapal nelayan China di Laut China Selatan. Kru kapal yang terdiri dari 22 orang terapung-apung di laut hingga diselamatkan nelayan Vietnam. Maret lalu, Vietnam juga mengajukan protes keras karena kapal nelayannya dikejar dan ditenggelamkan kapal Keamanan Laut China di sekitar kepulauan Paracel yang menjadi area perebutan antara China dan negara-negara lain.
Multilateral
Negara-negara di Asia Tenggara yang merupakan negara kecil dan menengah berada dalam dilema ini. Dalam Shangri-La Dialogue, hampir semua negara menyatakan tidak ingin memilih antara berteman dengan China atau Amerika. Semua ingin mengambil manfaat dari China yang tengah menjadi kekuatan ekonomi baru dan AS sebagai pemain lama.
Dengan kata lain, negara-negara tersebut mengharapkan uang China, tetapi bergantung pada AS untuk penyeimbang dan jaminan keamanan. Diharapkan, keduanya bisa berbagi ruang dan peran demi kemakmuran bersama.
Akan tetapi, untuk meningkatkan posisi tawar, mau tidak mau, negara-negara di kawasan Asia Tenggara harus bersekutu. Persekutuan ekonomi menjadi pilihan utama dengan logika bahwa persatuan kepentingan ekonomi akan berbuntut pada kerja sama keamanan dan pertahanan.
Pasalnya, ekonomi tak akan bisa berjalan lancar tanpa stabilitas dan keamanan. Beberapa kerja sama seperti Comprehensive and Progressive Agreement for the Trans Pacific Partnership (CPTPP) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) serta ASEAN diharapkan bisa menjadi forum yang meningkatkan daya tawar negara-negara kecil dan menengah di kawasan.
ASEAN yang telah berusia 52 tahun dipandang sebagai platform yang tepat untuk dialog dan kerja sama. Akan tetapi, ASEAN yang mengambil keputusan secara konsensus sering kali terjebak dalam kekuatan eksternal yang menarik negara-negara ASEAN ke kepentingan negara-negara besar.
Di sisi lain, walaupun telah memiliki forum rutin ASEAN Defence Ministers Meeting, ASEAN tidak memiliki kerja sama berupa pakta pertahanan seperti di Eropa. Beberapa analisis bahkan menyebutkan, negara-negara besar memanfaatkan kelumpuhan ASEAN karena prosedur konsensus itu untuk kepentingan mereka.
Indonesia dan ASEAN
Lepas dari berbagai kekurangannya, ASEAN merupakan organisasi yang telah lama membuktikan kehadirannya. Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu dalam berbagai pertemuan dengan menteri pertahanan ASEAN kerap menggarisbawahi pentingnya ASEAN untuk lebih bersatu. Secara fisik, ASEAN memiliki modal kekuatan yang dapat menjadi efek getar pertahanan, yaitu penduduk sekitar 569 juta dan militer aktif sekitar 2,7 juta.
ASEAN juga sebaiknya tidak menari dengan gendang-gendang negara besar semata. Ancaman yang nyata yang dihadapi negara-negara ASEAN lebih dominan pada radikalisme. Di mana berbagai kelompok telah bersarang, termasuk kehadiran para gerilyawan yang pulang dari Timur Tengah, hingga adanya cabang Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Filipina Selatan. Kepala Biro TU Kementerian Pertahanan Iroth Sonny Edie mengatakan, selain itu, negara-negara di kawasan juga menghadapi ancaman berupa bencana alam, siber, dan kejahatan lintas perbatasan.
”Untuk bisa bekerja sama, perlu ada kepercayaan supaya bisa saling berbagai informasi intelijen dan interoperabilitas,” kata Sonny.
Indonesia yang selama ini dikenal sebagai ”Honest Broker” perlu menunjukkan eksistensinya. Ada indikasi bahwa Presiden Joko Widodo kerap lebih berkonsentrasi pada urusan domestik serta memajukan komunikasi bilateral daripada multilateral. Padahal, ASEAN perlu menjadi alat politik bagi kepentingan nasional Indonesia, apalagi dengan visi Poros Maritim Dunia.
Salah satu terobosan signifikan yang inisiatifnya dilakukan Kementerian Pertahanan RI adalah membangun kerja sama trilateral dengan Filipina dan Malaysia. Kerja sama itu untuk mengatasi perompak yang disponsori kelompok teroris Abu Sayyaf. Walaupun tentunya tidak berhasil seratus persen, berbagai laporan mencatat penurunan aktivitas kejahatan maritim di Laut Sulu. Salah satunya disebabkan oleh patroli terkoordinasi trilateral Indonesia-Malaysia-Filipina.
Di sela-sela pertemuan Shangri-La Dialogue, Indonesia, Filipina, dan Malaysia sepakat untuk membentuk pasukan darat untuk menindak terorisme. Langkah pertama diawali dengan latihan bersama pasukan darat dan intelijen. Rencana jangka panjang adalah menerjukan pasukan gabungan trilateral di Filipina. Langkah ini dianggap strategis karena selama ini kelemahan dari negara-negara di kawasan adalah tidak bisa melakukan langkah antisipatif, tetapi hanya bisa reaktif setelah ada tindakan teroris.
Hal ini dibahas dalam pertemuan Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu, Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana, dan Menteri Pertahanan Malaysia Mohamad Sabu di sela-sela Shangri-La Dialogue, Sabtu (1/6/2019). Ketiganya sepakat akan mengirim masing-masing satu kompi dan memulai latihan Juli atau Agustus di Tarakan.
Mohamad Sabu mengatakan, ancaman terorisme di Malaysia semakin besar. Menurut dia, kelompok-kelompok teroris itu juga telah membentuk jaringan antarnegara. Oleh karena itu, kerja sama untuk menghadapi kelompok teroris juga harus dilakukan lintas negara.
”Saya sepakat dengan rencana latihan darat. Itu meningkatkan interoperabilitas kita, juga untuk saling komunikasi,” katanya.
Sementara Delfin Lorenzana mengatakan, Filipina berharap agar terus mendapat dukungan dari Malaysia dan juga Indonesia untuk menyelesaikan masalah-masalah keamanan di selatan Filipina. Walaupun operasi darat oleh militer negara lain masih terkendala undang-undang, pada prinsipnya Filipina sepakat untuk latihan bersama militer darat.
Ryamizard menunjukkan fakta bahwa selama ini inisiatif serangan selalu datang dari para teroris. Hal ini membuat negara-negara jadi susah untuk mengatasinya. Untuk itu, perlu ada upaya agar inisiatif diawali oleh negara. ”Kita jebol terus. Jadi bagaimana caranya untuk melumpuhkan mereka,” katanya.
Bentuk kerja sama militer ini memberikan warna tersendiri bagi arsitektur keamanan di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara ASEAN menunjukkan ketertarikan yang nyata. Pasalnya, dibutuhkan sebuah bentuk kerja sama yang nyata untuk mempererat ASEAN. Adanya trilateral dan kerja sama berbagai informasi intelijen Our Eyes antara ASEAN dan delapan negara lain diharapkan bisa menjadikan ASEAN memiliki irama tersendiri di tengah gendang AS ataupun China.
Salah satu terobosan yang bisa dilakukan adalah dimulai dari membangun kerja sama di antara negara ASEAN untuk kepentingan pertahanan dan keamanan. Bangunan-bangunan ini yang nantinya membentuk arsitektur keamanan di ASEAN. Alternatif lain adalah mengubah mekanisme pengambilan keputusan di ASEAN dengan menggunakan batasan kuorum. Alternatif ini setidaknya membuat ASEAN memiliki agenda-agenda nyata, berupa implementasi dari berbagai jargon dan wacana.