Rachmad Imron dan Kuntilanak Berkelas Dunia
Karena jumlahnya melimpah, konten lokal sering dianggap sudah biasa. Rachmad Imron (40) membalikkan anggapan itu. Dengan mengangkat legenda urban Nusantara, seperti pocong dan kuntilanak, dia membuat gim yang mendunia.
Karena jumlahnya melimpah, konten lokal sering dianggap terlalu biasa. Rachmad Imron (40) membalikkan anggapan itu. Dengan mengangkat legenda urban Nusantara, seperti pocong dan kuntilanak, dia membuat gim yang mendunia.
Sejumlah poster berwarna hitam bertuliskan DreadOut bertebaran di bangunan tiga lantai yang menjadi studio Digital Happiness di Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (9/5/2019). Pada salah satu ruangan berukuran sekitar 4 x 4 meter, Imron duduk menatap layar monitornya. Di ruangan kecil itulah dia mengembangkan ide-ide besarnya.
DreadOut merupakan gim komersil pertama yang diproduksi Digital Happiness. Sejak diluncurkan pada Mei 2014, gim itu sudah menghasilkan lebih dari 1 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 14,2 miliar.
Pemilihan genre horor dikarenakan Imron dan rekan-rekannya menyukai cerita hantu. Genre ini juga dinilai lebih mudah dikembangkan dan diterima pasar.
Banyak karakter hantu yang identik dengan negara tertentu. Misalnya, zombie di Amerika Serikat, vampir di dataran Eropa, dan yurei di Jepang.
Indonesia juga punya hantu ikonik yang melegenda seperti pocong dan kuntilanak. Ini menjadi ciri khas sehingga menarik dijadikan gim,
“Indonesia juga punya hantu ikonik yang melegenda seperti pocong dan kuntilanak. Ini menjadi ciri khas sehingga menarik dijadikan gim,” ujar CEO Digital Happiness itu.
Bertarung di pasar gim dunia tidak mudah. Pengembang gim dari negara-negara maju, seperti Amerika dan Jepang, sudah unggul pengalaman, teknologi, dan investasi.
Imron menyadari betul hal itu. Oleh karenanya, dia tidak ingin terjebak dalam persaingan yang bergantung pada kelebihan negara maju tersebut. Menurut dia, kekhasan menjadi modal awal bagi pengembang gim baru untuk bisa bersaing. Jadi, kekayaan konten lokal harus dimanfaatkan.
“Bukan hanya horor, konten lain, seperti peperangan kerajaan zaman dahulu juga menarik untuk diangkat. Banyak konten lokal Indonesia yang tidak dimiliki negara lain,” ujarnya.
Imron memantapkan langkahnya untuk terus mengembangkan gim horor. Digital Happiness mengembangkan DreadOut dengan menghasilkan DreadOut 2, DreadOut: Keepers of The Dark dan DreadEye yang merupakan gim virtual reality pertama mereka.
Kesuksesan DreadOut tak membeku di industri gim. Sebab, bisnis gim sangat cair sehingga merembes ke bisnis lain, di antaranya media promosi dan film.
Pada 2016, lisensi DreadOut digunakan dalam promosi telepon seluler pintar. Tiga tahun berselang, gim ini diangkat ke layar lebar. Ini pertama kalinya gim lokal Indonesia diproduksi menjadi film.
Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif Hari Santosa Sungkari mendorong pengembang gim lokal untuk menggunakan konten lokal. “Jangan membuat gim mengikuti yang sudah ada. Berat melawan mereka (perusahaan pengembang gim dari luar negeri). Angkat konten lokal sehingga mempunyai kedekatan dengan pemain gim dalam negeri,” ujarnya di Bandung, Selasa (23/4/2019).
Jalan panjang
Kesuksesan Imron tak diraih dengan mudah. Dia menempuh jalan panjang yang tidak semuanya mulus. Jauh sebelum memproduksi gim, alumnus Desain Produk Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) itu adalah penggila gim. Dia mengenal gim sejak masih duduk di bangku kelas empat sekolah dasar.
“Waktu itu bermain gim PC (personal computer) Dig Dug di rumah tetangga. Setelah orangtua melihat saya suka gim, baru dibelikan gim Sega,” ujarnya.
Imron lahir dan besar di Mojokerto, Jawa Timur. Saat dia masih bersekolah, gim elektronik di kota itu belum terlalu berkembang. Harganya juga cukup mahal. “Tidak bisa gonta-ganti gim seperti sekarang. Setahun sekali dibelikan gim baru saat naik kelas,” ujarnya.
Tamat SMA, Imron melanjutkan pendidikan di ITB pada 1996. Dia memilih jurusan Desain Produk Industri karena senang menggambar sejak kecil. Imron tidak punya keluarga di Bandung. Jadi, dia harus indekos. Tinggal jauh dari keluarga membuatnya belajar hidup mandiri.
Semasa kuliah, Imron semakin tertarik pada gim. Sebab, di kampus dia belajar tentang pembuatan desain tiga dimensi dan animasi yang merupakan dasar pembuatan gim. Dia pun mulai bermimpi untuk membuat gim.
Bermodal keahlian itu, Imron dan beberapa temannya membuka jasa pembuatan gambar tiga dimensi, animasi dan simulator. “Pertama kali dibayar Rp 400.000. Setelah itu meningkat tergantung tingkat kesulitan dari permintaan pemesan,” ujarnya.
Uang dari usaha itu digunakan untuk menambah biaya kuliah. Selain itu, juga dipakai membayar sewa tiga kamar setiap bulan sebesar Rp 450.000.
“Satu kamar sebagai tempat tinggal dan dua lainnya untuk ruang kerja. Jadi, harus rajin mencari proyek,” ujarnya tertawa.
Imron tamat kuliah pada 2001. Setelah itu, dia dia fokus menerima jasa pembuatan gambar tiga dimensi, animasi, dan simulator. Usaha itu tak selalu berbuah manis. Proyek simulator sebesar Rp 400 juta pernah tak dibayarkan pemesannya. Padahal, uang itu rencananya akan dijadikan modal untuk membuat gim DreadOut.
Imron dan rekan-rekannya kecewa, namun tidak menyerah. Mereka tetap mengerjakan sejumlah proyek untuk dijadikan modal mewujudkan mimpinya itu.
Tidak ada kesuksesan instan. Kerja keras membutuhkan konsistensi untuk mewujudkan impian
“Tidak ada kesuksesan instan. Kerja keras membutuhkan konsistensi untuk mewujudkan impian,” ujarnya.
Untuk mendapatkan sokongan dana, Imron menggunakan crowdfunding (urunan dana) lewat situs Indiegogo pada 2013. Mereka menargetkan penggalangan dana 25.000 dolar AS atau Rp 245 juta (kurs Rp 9.800 per dolar AS). Ternyata dana yang terkumpul mencapai 29.000 dolar AS atau Rp 284 juta. Sukses berlanjut ke penjualan gim. Tak main-main, DreadOut dipasarkan lewat kanal Steam, salah satu distributor gim terbesar di dunia.
Tidak mudah menjual gim di kanal itu. Persaingannya datang dari penjuru dunia. Setahun sebelum resmi dirilis, demo DreadOut diluncurkan dan dapat diunduh secara gratis.
Dalam sembilan hari, gim DreadOut sudah diunduh 80.000 kali. Gim itu juga mendapatkan 60.000 suara di Steam dalam tiga bulan. Dukungan suara menjadi pertimbangan gim layak dijual lewat kanal itu.
Setelah diluncurkan pada Mei 2014, penjualan DreadOut mencapai 150.000 dolar AS atau sekitar Rp 1,72 miliar (kurs Rp 11.500 per dolar AS) dalam satu bulan pertama. Jumlah itu terus meningkat menjadi 500.000 dolar AS atau Rp 5,75 miliar dalam setahun.
Sayangnya, belum semua pengembang lokal memaksimalkan pasar gim yang terus meningkat. Dari penghasilan 1,084 miliar dolar AS atau sekitar Rp 15,6 triliun tahun lalu, pengembang lokal hanya meraih 0,4 persen. Sebagian besar diraup pengembang asing.
Imron mengajak anak-anak muda bergerak dari pemain menjadi pembuat gim. Bermodal konten lokal, dia telah membuktikan gim lokal mampu bersaing di pasar global. Saatnya anak negeri merebut pasar gim yang besar di negeri sendiri.
Rachmad Imron
Lahir: Mojokerto, 30 Juli 1978
Pendidikan terakhir: S1 Desain Produk Industri ITB
Istri : Yoane Fitria Indah Gempita (35)
Anak: Akal Rana Daya Rachmad (9)