Untuk mengungkapkan dan membuktikan kebenaran fakta dari kasus kerusuhan 21-22 Mei lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan membandingkan dengan bukti-bukti video yang ada.
JAKARTA, KOMPAS - Akurasi pengungkapan dan pembuktian kebenaran kasus kerusuhan yang terjadi di beberapa lokasi di Jakarta pada 21-23 Mei lalu akan dibandingkan dengan bukti-bukti video. Sejauh ini, jumlah video yang berhasil dikumpulkan terkait peristiwa tersebut relatif cukup banyak karena tak hanya diproduksi institusi formal, tetapi juga oleh publik.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Mochammad Choirul Anam, saat dihubungi, Kamis (20/6/2019), di Jakarta, mengatakan, pihaknya memiliki banyak rekaman video terkait peristiwa tersebut. Dalam konteks itu, rekaman video yang dimiliki bisa menjamin perkataan para pihak, termasuk kepolisian, apakah bisa dipertanggungjawabkan atau tidak.
Untuk itu, Anam menambahkan, Komnas HAM saat ini telah membentuk tim untuk melakukan investigasi kasus tersebut. Dari masa kerja tim yang ditetapkan tiga bulan, kini baru berjalan sekitar satu bulan. ”Semoga sebelum tiga bulan (Komnas HAM) bisa merilis temuan kami dan bisa memberikan rekomendasi-rekomendasi,” ujar Anam. Rekomendasi tersebut diharapkan dijalankan semua pihak, termasuk pemerintah.
Saat ini, lanjut Anam, Komnas HAM telah menerima sejumlah pengaduan dari berbagai pihak. Salah satunya terkait ancaman dan ketidaknyamanan proses hukum yang tengah dijalani anggota keluarga yang masih dalam proses penahanan kepolisian. Hal itu antara lain kesulitan mengakses anggota keluarga. Bahkan, informasi pengaduan diperoleh dari anggota keluarga atau teman-teman mereka yang masih dalam tahanan.
Komnas HAM juga tengah mengklarifikasi seluruh temuan dan mengembangkan pemantauan yang tidak berdiri sendiri-sendiri. Misalnya, saat ini Komnas HAM melakukan pengecekan terhadap aksi kerusuhan di kawasan Kampung Bali, Petamburan, dan Otista. ”Termasuk (apakah) proses hukum berjalan baik, sesuai prinsip HAM atau tidak. Ini di level proses hukum,” kata Anam.
Komnas HAM juga tengah memeriksa apakah dalam melakukan pengendalian massa polisi sudah sesuai prinsip HAM dan prosedur yang dimiliki. Khusus terkait kasus kekerasan yang diduga dilakukan kepolisian, Komnas HAM juga menerima banyak data. Pengaduan itu kini tengah diklarifikasi apakah memang digunakan kewenangan secara berlebihan oleh pihak kepolisian.
Menurut Anam, jika dilihat dari konteks HAM, penggunaan kewenangan secara berlebihan merupakan pelanggaran HAM. Diharapkan, rekaman video nantinya dapat membuktikannya.
Berkas dipilah-pilah
Terkait berkas perkara terhadap 447 tersangka kerusuhan, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo mengatakan, saat ini berkas perkara 447 orang tersebut sudah dipilah-pilah menjadi beberapa berkas.
Selebihnya masih dalam proses penyelesaian berkas perkara sesuai tempat kejadian perkara dan pengelompokan sesuai dengan perbuatan hukum yang dilakukan masing-masing.
”Targetnya memang Polda Metro Jaya (pada) bulan ini seluruh berkas sudah tuntas dan dilimpahkan ke JPU,” ujar Dedi.
Sementara itu, informasi yang diterima Kompas ada petisi yang meminta penangguhan penahanan terhadap Mayor Jenderal (Purn) Soenarko yang ditahan akibat kepemilikan senjata api ilegal. Petisi itu ditandatangani
102 purnawirawan TNI dan Polri dalam acara halalbihalal di kawasan Jakarta Selatan.
Terkait informasi penangguhan penahanan, Kepala Staf Kepresidenan (KSP)
Moeldoko tak mau berkomentar. ”Dari awal saya mengatakan bahwa negara tidak mau ikut campur dalam konteks ini, tidak mengintervensi, tidak mau melibatkan diri, tidak mau mengurangi independensi aparat penegak hukum. Untuk itu, kami tidak berpendapat,” tuturnya kepada pers di Kantor KSP, Jakarta, Kamis (20/6/2019).