Sekitar 400 hektar lahan tanaman padi di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengalami puso atau gagal panen karena kekeringan. Luas lahan pertanian yang gagal panen itu jauh lebih besar dibanding tahun lalu karena musim kemarau tahun ini datang lebih awal.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
WONOSARI, KOMPAS — Sekitar 400 hektar lahan tanaman padi di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengalami puso atau gagal panen karena kekeringan. Luas lahan pertanian yang gagal panen itu jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun lalu karena musim kemarau tahun ini datang lebih awal.
”Ada 400 hektar lahan pertanian di 10 kecamatan yang tanaman padinya puso sehingga tidak bisa dipanen,” kata Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunung Kidul Raharjo Yuwono, Rabu (27/6/2018), di Gunung Kidul.
Ada 400 hektar lahan pertanian di 10 kecamatan yang tanaman padinya puso sehingga tidak bisa dipanen.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunung Kidul, 10 kecamatan yang mengalami gagal panen itu adalah Patuk dengan lahan puso seluas 194 hektar, Semin 75 hektar, Ngawen 35 hektar, Ponjong 32 hektar, Gedangsari 25 hektar, Playen 13 hektar, Karangmojo 10 hektar, Nglipar 8 hektar, Girisubo 6 hektar, dan Wonosari 2 hektar.
Kebanyakan lahan pertanian yang mengalami puso itu merupakan lahan tadah hujan yang mengandalkan air hujan untuk pengairan. ”Yang paling parah itu daerah pegunungan yang enggak ada sumber air dan hanya mengandalkan air hujan,” ujar Raharjo.
Raharjo mengatakan, apabila dikalkulasikan, gagal panen di lahan seluas 400 hektar itu menyebabkan hilangnya potensi pendapatan sekitar Rp 6 miliar. Hal ini karena 1 hektar lahan pertanian di Gunung Kidul bisa menghasilkan 4-5 ton gabah, sementara harga gabah adalah Rp 3.700 per kilogram. Namun, kerugian riil akibat gagal panen itu diperkirakan hanya Rp 800 juta karena rata-rata biaya tanam padi di Gunung Kidul sekitar Rp 2 juta per hektar.
Raharjo menyatakan, luas lahan tanaman padi yang mengalami puso tahun ini jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya 32 hektar. Kondisi itu terjadi karena musim kemarau tahun ini datang lebih awal sehingga banyak lahan pertanian tadah hujan yang tidak mendapat pengairan yang cukup.
”Tahun ini hujannya berhenti cepat sekali. Minggu ketiga April sudah berhenti. Padahal, tahun 2018 hujan baru berhenti akhir Mei,” ujarnya.
Raharjo menambahkan, banyaknya lahan pertanian yang gagal panen tahun ini juga terjadi karena mundurnya musim tanam akibat musim hujan yang terlambat datang pada tahun lalu. Berdasarkan kebiasaan masyarakat di Gunung Kidul, musim tanam pertama padi biasanya dilakukan mulai bulan Oktober karena saat itu hujan sudah mulai turun.
Namun, pada 2018, musim hujan baru datang pada November sehingga musim tanam pertama juga baru mulai dilakukan pada bulan tersebut. Mundurnya musim tanam pertama itu juga menyebabkan mundurnya musim tanam kedua. Akibatnya, padi yang ditanam pada musim tanam kedua tahun ini lebih sedikit mendapat air.
”Musim tanam kedua seharusnya Februari-Maret, tetapi tahun ini mundur Maret-April. Padahal, minggu ketiga April tahun ini sudah tidak ada hujan,” ungkap Raharjo.
Kerugian petani
Berdasarkan pantauan Kompas, lahan pertanian yang mengalami puso antara lain berada di Desa Rejosari, Kecamatan Semin, Gunung Kidul. Di beberapa dusun di Desa Rejosari tampak hamparan lahan pertanian dengan tanaman padi yang telah mengering. Terlihat pula lahan pertanian yang retak-retak karena kekeringan.
Salah seorang petani asal Dusun Klepu, Desa Rejosari, Toyo Harwanto (67), mengatakan, tanaman padinya seluas 1 hektar tidak bisa dipanen tahun ini karena kekeringan. Padahal, Toyo telah mengeluarkan uang sekitar Rp 5 juta untuk membiayai penanaman padi, membeli pupuk, menyewa traktor untuk membajak lahan, hingga membayar tenaga kerja. ”Biaya sewa traktor di sini agak mahal karena lahannya di perbukitan,” katanya.
Toyo mengatakan, sejak mulai menanam padi pada Maret 2019, hujan hanya turun sekali di wilayah tersebut. Padahal, lahan pertanian miliknya hanya mengandalkan air hujan untuk pengairan. Akibatnya, tanaman padi milik Toyo mengalami puso. ”Ini akhirnya saya cabuti, lalu dijadikan pakan untuk ternak,” ujarnya.
Giyanto (42), petani asal Dusun Banyu, Desa Rejosari, juga mengaku mengalami gagal panen. Dia harus merugi sekitar Rp 2 juta karena tanaman padinya seluas setengah hektar tidak bisa dipanen. ”Tahun lalu kami masih bisa panen, tapi tahun ini kami benar-benar enggak bisa metik hasil,” ujarnya.