Biaya Kampanye Tinggi Bisa Menghilangkan Akal Sehat
Politik uang hingga kini masih menjadi ”budaya” bagi calon anggota legislatif. Tak dimungkiri, biaya kampanye yang tinggi bisa menghilangkan akal sehat calon yang terpilih karena membuatnya berusaha untuk mengembalikan modal.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Politik uang hingga kini masih menjadi ”budaya” bagi calon anggota legislatif. Tak dimungkiri, biaya kampanye yang tinggi bisa menghilangkan akal sehat calon yang terpilih karena membuatnya berusaha untuk mengembalikan modal.
”Politik uang itu kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Ibarat penyakit, itu kanker akut yang enggak bisa hanya ditangani dokter bedah, tetapi harus ada ahlinya,” kata Koordinator Divisi Penindakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Ratna Dewi Pettalolo, di Jakarta, Sabtu (22/6/2019).
Demikian halnya dengan Bawaslu dalam menangani politik uang. Ratna menyebutkan, perlu melibatkan orang-orang yang memiliki keahlian dan posisi strategis untuk membasmi politik uang.
Paparan ini disampaikan dalam Silaturahmi Nasional dan Lokakarya Adkasi 2019 yang diikuti anggota DPRD kabupaten seluruh Indonesia. Adapun tema yang diangkat ialah ”Membumikan Pancasila, Merajut Kembali Persaudaraan Pasca-Pemilu 2019 dengan Membangun Indonesia dari Daerah”.
Menurut Ratna, partai politik sebenarnya mau mengubah politik uang yang kini sudah menjadi sebuah budaya, tetapi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sepanjang budaya ini tidak berubah, regulasi tidak ada artinya.
”Perlu waktu yang panjang. Tapi saya tekankan, kalau tidak dimulai dan diterima sebagai sesuatu kenyataan, keadaan ini tidak akan pernah berubah,” katanya.
Pengamat politik Centre for Strategic of International Studies, J Kristiadi, pernah menuliskan opini berjudul ”Obituari, Matinya Politik Akal Sehat” di harian Kompas (29/1/2013). Dia berpendapat, ”ongkos” yang beredar di kalangan politisi untuk menjadi anggota DPR minimal Rp 5 miliar.
”Jumlah yang fantastis dan membikin merinding bulu kuduk rakyat yang terengah-engah berjuang memenuhi kehidupan minimal sehari-hari. Hal itu membuktikan hasrat politisi yang didominasi dan tunduk kepada kepentingan ekonomi,” ujar Kristiadi.
Calon anggota DPR bersedia mengeluarkan biaya yang sangat tinggi demi kekuasaan. Hal ini dilakukan meskipun mereka tahu total pendapatan selama lima tahun jauh lebih kecil daripada ongkos yang dikeluarkan.
Partai politik
Ratna menyimpulkan, apabila kita menganggap politik uang sebagai sesuatu yang mapan dan tidak dapat diubah, satu-satunya yang bisa melakukan perubahan adalah partai politik. Ia menilai, partai politik sebagai tempat bernaung anggota legislatif seharusnya berani untuk menghentikan politik uang.
”Dalam sistem pemilu dengan proporsional daftar terbuka, partai politik harus berperan aktif. Untuk bisa menarik simpati konstituen, suara yang didapatkan oleh partai itulah yang kemudian distribusikan kepada siapa yang dinilai berpotensi untuk bisa mengembangkan partai politik,” tutur Ratna.
Secara terpisah, pengajar hukum tata negara Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Umbu Rauta, menyampaikan, beberapa pengalaman negatif berupa penyalahgunaan bantuan keuangan partai politik di sejumlah daerah seharusnya menjadi pelajaran bagi partai politik untuk tidak mengulangi hal serupa.
Terkait bantuan keuangan negara terhadap partai politik, perlu diupayakan pengawasan secara baik. Tujuannya agar bantuan tersebut benar diperuntukkan dalam mewujudkan pendidikan politik bagi masyarakat.
”Partai politik mesti menanamkan kebiasaan untuk lebih fokus pada pendidikan politik bagi warga negara. Hanya dengan begitu eksistensi parpol sebagai salah satu pilar demokrasi Indonesia dapat benar-benar dirasakan oleh masyarakat setiap saat,” ujarnya.
Dengan kata lain, peran partai politik tidak sekadar berjuang untuk merebut kekuasaan formal semata di lingkungan pemerintahan. Namun, partai politik juga harus fokus dalam memajukan kualitas politik Indonesia.