Bisnis Pedas ala si "Judes"
Dua orang lulusan sekolah teknologi menengah bekerja sama. Apa hasilnya? Jangan hanya membayangkan mesin, kabel, atau perkakas kelistrikan. Kolaborasi itu menghasilkan karya di bidang kuliner, yakni sambal. Bukan sembarang sambal karena diberi label "Sambel Judes".
Dua orang lulusan sekolah teknologi menengah bekerja sama. Apa hasilnya? Jangan hanya membayangkan mesin, kabel, atau perkakas kelistrikan. Kolaborasi itu menghasilkan karya di bidang kuliner, yakni sambal. Bukan sembarang sambal karena diberi label "Sambel Judes".
Bagi Septian Kristyanto (33) dan Dwi Aryanto (41), kerja sama mereka di Temanggung, Jawa Tengah ini bagaikan memadukan teknik membuat sambal.
Septian adalah lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) jurusan listrik atau dikenal sebagai sekolah teknologi menengah (STM). Adapun Dwi adalah lulusan SMK jurusan agronomi.
Kata "Judes" merupakan singkatan dari "juara pedes". Sambal Judes terdiri dari dua jenis sambal, yaitu sambal basah dan sambal kering, atau bubuk cabai, yang dipromosikan dengan nama sambal pasir.
Dengan mengandalkan empat tenaga kerja, sambal basah dikemas dalam kemasan plastik berisi 100 gram sambal. Harganya, Rp 5.000 per kemasan.
Sementara, produksi sambal kering atau sambal pasir tidak rutin dijalankan setiap hari. Setidaknya 20 kilogram (kg) sambal kering diproduksi dalam sepekan. Sambal pasir dikemas dalam plastik berisi 60 gram per kemasan, dengan harga Rp 10.000 per kemasan.
Ada enam jenis sambal basah, yakni sambal teri, sambal lamongan, sambal terasi, sambal merah petai, sambal cabai hijau, dan sambal hijau petai.
Kualitas sambal basah terjaga hingga 4-5 hari, sedangkan sambal bubuk bisa bertahan hingga satu tahun.
Bagi penggemar sambal basah yang tinggal jauh dari Temanggung, Dwi menerapkan inovasi pasteurisasi pada produk sambalnya.
“Dengan pasteurisasi, produk Sambel Judes dalam bentuk sambal basah, bisa bertahan baik selama enam bulan,” ujarnya.
Menyesuaikan dengan selera pasar, Dwi dan Septian yang semula memproduksi sambal dengan tingkat kepedasan bervariasi, mulai dari level pedas 1 hingga level pedas 5, kini lebih banyak memproduksi sambal dengan level pedas 4.
Namun, ia tetap melayani permintaan khusus dengan tingkat kepedasan tertentu, dalam jumlah tertentu. Misalnya, ada pelanggan di Yogyakarta yang memesan 200 kemasan Sambel Judes dalam bentuk sambal basah dengan level kepedasan 5.
“Untuk pelanggan lain saya biasa membuat sambal level empat dari campuran cabai keriting dan cabai rawit merah. Khusus pelanggan dari Yogyakarta ini saya hanya menggunakan cabai rawit merah saja,” jelas Dwi.
Selain Yogyakarta, Sambel Judes buatan mereka berdua, telah dikirim dan dinikmati konsumen di berbagai daerah, seperti Bogor, Jakarta, Semarang, Padang, Batam, serta sejumlah kota di Kalimantan.
Mengandalkan bantuan dari rekan dan relasi, Septian mengatakan, sambal pasir telah dinikmati pengemar sambal di luar negeri. Beberapa rekannya yang menjadi buruh migran di sejumlah perusahaan telah membawa Sambel Judes ke Singapura dan Hongkong. Tahun ini, puluhan kemasan sambal pasir juga telah dibawa satu rombongan yang akan berangkat umroh.
Asal mula
Kerja sama yang kini beromzet Rp 500.000 per hari ini bermula dari usaha rintisan milik Septian. Setelah lelah dua tahun bekerja sebagai koki di kapal yang berlayar di dalam negeri dan luar negeri, pada 2014 Septian memutuskan pulang dan membuka usaha warung makan yang diberinya nama warung Ceker Judes.Menu utamanya, olahan cakar ayam tingkat kepedasan sesuai permintaan pelanggan. Menu cakar ayam dipilih karena masih jarang di Temanggung.
Namun, Septian yang keluarganya memiliki latar belakang usaha di bidang katering ini hanya bisa memasak. Dia kesulitan mempromosikan produknya, sehingga omzet yang didapat tidak menentu.
Septian pun meminta bantuan dari Dwi, rekan sekaligus tetangga satu desanya, yang bersedia membantunya untuk mempromosikan usaha. Dwi berpengalaman dalam promosi dan pemasaran karena pernah menjadi tenaga pemasaran di perusahaan distribusi makanan di Purwokerto dan Temanggung selama 15 tahun.
Semula, Dwi membantu mempromosikan warung milik Septian kepada alumnus dan guru-guru tempatnya pernah bersekolah. Promosi semakin gencar melalui media sosial.
Sembari terus berpromosi, Dwi juga menawarkan kerja sama membuat usaha kuliner lain, yakni katering Dapur Judes. Usaha itu melayani pesanan makanan.
Tak disangka, sambal, yang semula hanya sebagai pelengkap hidangan, ternyata disukai konsumen. Ada sejumlah pemesan masakan katering yang memesan lagi, namun khusus sambal. Permintaan itu datang berulang kali, yang ditangkap Dwi dan Septian sebagai peluang mengembangkan usaha. Mereka akhirnya mengembangkan produksi sambal, yang saat dipromosikan di akun media sosial langsung laris diborong pembeli dalam sehari. Respons pasar yang menggembirakan ini membuat Dwi dan Septian serius mengembangkan produksi sambal.
Mereka menganggap bisnis ini layak digeluti. Dengan jumlah pesaing yang masih terbatas, peluang usaha sambal masih terbuka lebar. Apalagi, sambal masih kerap dipandang sebelah mata karena harga jualnya murah.
Namun, Dwi dan Septian meyakini, bisnis sambal layak untuk dikembangkan. Mereka bahkan tak henti berinovasi untuk menjaga loyalitas konsumen dan memperluas pasar Sambel Judes.