Kota yang ”Ngeselin”, tetapi Juga ”Ngangenin”
Ramai, sumpek, macet, banjir, bising, dan polusi. Beberapa kata yang sering disebut oleh masyarakat ketika mendeskripsikan Jakarta. Meskipun keluhan tentang tidak nyamannya hidup di Ibu Kota itu banyak, Jakarta tidak pernah berhenti didatangi oleh pendatang baru dari sejumlah wilayah Indonesia.
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta memprediksi, pada 2019, jumlah pendatang baru di Jakarta sebanyak 73.183 orang. Sejak 2013, jumlah pendatang baru rata-rata naik 6,86 persen setiap tahun.
Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, sudah menjadi persepsi yang umum dimiliki masyarakat, Jakarta merupakan kota yang penuh dengan peluang. Selain jumlah penghasilan di Jakarta dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan kota lain, Jakarta juga lengkap dengan berbagai macam produk atau layanan yang dibutuhkan sehari-hari serta hiburan yang gemar dinikmati oleh berbagai kalangan.
”Aku suka hidup di Jakarta karena merasa ada banyak peluang yang bisa digarap. Jakarta itu pusat ekonomi dan pemerintah, jadi ada semuanya di sini. Perusahaan besar juga kantornya berbasis di Jakarta,” kata Abi, pengusaha muda yang menjabat sebagai Direktur PT Karpa Moda Inovasi, sebuah perusahaan yang baru didirikan pada awal 2018 dan memberikan layanan bisnis berbasis teknologi informasi.
Di Jakarta, peluang yang Abi lihat adalah semakin banyak perusahaan sadar mengenai pentingnya teknologi dalam memajukan bisnis mereka. ”Indonesia semakin open minded. Perusahaan yang selama ini enggak pakai teknologi jadi ingin pakai,” tambah Abi yang sempat tinggal di Karlsruhe, Jerman, pada 2006-2018, untuk sekolah S-1 dan S-2 di bidang sistem informasi bisnis di Hochschuhe Karlsruhe.
Baginya, memulai usaha di Jakarta tidak sulit. Bantuan untuk persoalan administrasi dan perizinan, seperti melalui notaris, dapat ditemukan dengan mudah.
”Yang penting konsepnya mateng dan kita tidak takut mengeksekusikannya.” ucap Abi. Saat ini perusahaannya memiliki jumlah karyawan sebanyak tiga orang dan mengikat perjanjian dengan dua klien perusahaan.
Besarnya peluang kerja di Jakarta juga dirasakan oleh Hasan, penjual es cendol dekat Stasiun MRT Haji Nawi, Jakarta Selatan, saat ia nekat pindah dari Tegal, Jawa Tengah, ke Jakarta pada akhir 1990-an, ketika ia baru lulus SD, bersama temannya. Orangtua Hasan di Tegal saat itu bekerja sebagai pedagang kaki lima dan penghasilan mereka tidak bisa dianggap berkecukupan.
Setelah kerja selama sekitar tujuh tahun di Jakarta, Hasan berani mengundang orangtua serta saudaranya untuk hidup dan kerja di Jakarta. Kepada orangtuanya, ia menyediakan mereka modal usaha berupa gerobak supaya juga dapat menjual es cendol seperti dirinya.
”Di Jakarta bisa macam-macam. Usaha makan minum bisa. Kan, Jakarta pusat pertumbuhan ekonomi. Usaha di Jawa bisa, tetapi pendapatnya lebih rendah. Berhasil atau tidak tergantung dari orangnya. Yang penting mau berusaha, memiliki kemampuan, dan tahu lapangan,” ucap Hasan. Sehari-hari, jumlah pelanggan Hasan bisa mencapai 50 orang. Satu gelas es cendol dijual Rp 9.000.
Kini Hasan tinggal di dekat Pasar Cipete, Jakarta Selatan, bersama istri dan kedua anaknya. Istrinya sehari-hari berkegiatan sebagai ibu rumah tangga. Anak sulungnya sudah mulai sekolah TK pada tahun pendidikan berikut dan si bungsu yang berusia 1 tahun di rumah bersama ibunya.
Macet dan polusi
Banyaknya peluang kerja di Jakarta bukan berarti warganya suka atau senang tinggal di sana. Kemacetan dan polusi masih menjadi beberapa ketidaknyamanan yang sering dikeluhkan masyarakat.
”Banyak orang merasa tertekan secara psikologis akibat kemacetan di Jakarta. Polusinya juga men-trigger berbagai macam penyakit, seperti batuk, flu, ataupun infeksi paru-paru. Area hijau di Jakarta juga kurang,” ucap Anin, pegawai swasta dari sebuah perusahaan pertambangan.
Menurut dia, Jakarta saat ini terasa penuh dan sesak. Apalagi, kualitas udara tidak baik dan lingkungan kurang bersih. Anin berharap kebersihan dapat lebih diperhatikan ke depan. ”Pengelolaan sampah masih berantakan. Kali dan got juga sering kotor,” ujarnya.
Bagi Santoso, pensiunan yang gemar bersepeda, kondisi jalan dan lalu lintas di Jakarta tidak ramah dan aman untuk pejalan kaki dan pesepeda. Tata tertib lalu lintas masih sering diabaikan oleh banyak pengendara sehingga suasana di jalan menjadi tidak nyaman, aman, atau bahkan membuat kesal.
”Saat bersepeda ataupun jalan kaki, saya sering terhalang kendaraan yang parkir. Pengemudi tidak memberikan prioritas kepada pejalan kaki ketika mau menyeberang. Saat malam, trotoar digunakan pedagang kaki lima. Esoknya, mereka meninggalkan kotoran bekas minyak,” ujar Santoso.
Banyak hiburan
Walaupun kurang bersih, macet, dan berpolusi, berbagai macam hiburan yang mudah ditemukan di Jakarta sangat dinikmati masyarakat. ”Ada mal, kebun binatang, dan outdoor activities lainnya. Kalau mau cari barang, juga mudah. Di Jakarta, di mana-mana ada toko. Restoran pun tutup sampai telat,” katanya.
Teguh Tri Susilo, pegawai negeri sipil di Pusat Bagian Perlengkapan Biro Umum dan SDM dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), turut merasakan bahwa segalanya serba ada di Jakarta. Ia pun menikmati keramaian di Jakarta yang berlarut hingga telat malam.
”Kalau di daerah, suasananya sudah sepi setelah Maghrib. Di Jakarta masih buka hingga tengah malam. Cari makanan dan kebutuhan rumah tangga gampang. Jakarta ngeselin, tetapi ngangenin juga,” ucap Teguh yang cukup sering dinas ke luar kota.
Walaupun ramai, sumpek, macet, bising, berpolusi, bahkan kerap banjir, semua sepakat bahwa Jakarta merupakan tempat yang cocok untuk bekerja, mencari nafkah, dan menghidupi keluarga. Tersedianya berbagai tempat rekreasi di mana-mana membuat tekanan psikologis akibat kerja ataupun lingkungan di Jakarta dapat dipulihkan.