Pemerintah Merevisi Penerimaan Peserta Didik Baru Berbasis Zonasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merevisi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru. Kuota jalur prestasi bagi peserta didik baru dari luar zonasi naik dari 5 persen menjadi kisaran 5-15 persen.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merevisi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru. Kuota jalur prestasi bagi peserta didik baru dari luar zonasi naik dari 5 persen menjadi kisaran 5-15 persen.
Revisi ini tidak terlepas dari aksi penolakan terhadap penerimaan peserta didik baru (PPDB) berbasis zonasi. Salah satu aksi ini terjadi di Surabaya, Jawa Timur.
”Regulasi itu sudah direvisi sesuai arahan Presiden. Kuota siswa berprestasi dari luar zonasi yang ditambah. Sudah ditandatangani kemarin sore dan telah berlaku,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di Jakarta, Jumat (21/6/2019).
Revisi ini berlaku bagi daerah yang PPDB berbasis zonasinya belum sesuai atau memenuhi ketentuan pada aturan lama. Adapun daerah yang sudah atau telah memenuhi peraturan yang lama tetap melanjutkan PPDB berbasis zonasinya.
Muhadjir mengatakan, revisi tersebut untuk mengakomodasi siswa/siswi berprestasi dari luar zonasi. Kuotanya akan disesuaikan dengan daya tampung masing-masing zonasi.
”Zonasi bersifat lentur dan bisa diperlebar karena tidak berbasis administratif. Zonasi berdasarkan ketersediaan sekolah, radius, dan populasi siswa. Hal teknis diserahkan kepada tiap-tiap daerah karena mereka yang mengerti kondisi daerahnya,” katanya.
Perluasan zonasi terjadi di Yogyakarta. Zonasi diperluas karena sekolah tidak mampu menampung populasi siswa yang ada.
Muhadjir tidak menampik berbagai polemik yang muncul. Menurut dia, sebagian besar pemerintah daerah siap melaksanakan PPDB berbasis zonasi. Akan tetapi, masih ada daerah yang belum siap, terutama karena pergantian pejabat terkait dan status pejabat masih pelaksana tugas.
Ia menyebutkan, koordinasi terkait PPDB ini berlangsung selama enam bulan sejak Desember 2018. Kemendikbud menawarkan zona bayangan untuk mempermudah daerah menentukan zonasi.
”Kami tawarkan 1.600 zona bayangan, lalu ada revisi dan melebar menjadi 2.600 zona sesuai dengan usul daerah masing-masing,” kata Muhadjir.
Untuk itu, Kemendikbud bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri agar PPDB dapat menggunakan nomor induk kependudukan. Selain itu, juga akan menerbitkan peraturan presiden agar PPDB berbasis zonasi dapat berlanjut walaupun terjadi pergantian pejabat.
”Manfaat dan dampak zonasi tidak bisa serta-merta dirasakan. Semua perlu komitmen pemerintah dan daerah, perubahan mental masyarakat termasuk pendanaan,” kata Muhadjir.
Masalah implementasi
Aksi penolakan terhadap PPDB berbasis zonasi karena ada kesalahpahaman informasi dan implementasi di tingkat daerah. Pemerintah pusat tidak mengatur teknis implementasi karena kondisi daerah yang berbeda-beda.
Dekan Fakultas Pendidikan Universitas Sampoerna Nisa Felicia mengemukakan, pemerintah daerah harus merumuskan zonasi menggunakan data yang sudah ada dan terkumpul, seperti data pokok pendidikan atau sumber data lain.
”Cek berapa yang lulus SMP dan berapa banyak daya tampung SMA. Jadi, jangan sampai ada yang tidak kebagian bangku,” kata Nisa.
Pemerintah pusat juga dinilai kurang jelas menyosialisasikan konsep zonasi. Ini menyebabkan anggapan ”sekolah favorit” masih terus melekat di masyarakat. Pemerintah pusat harus mampu menjabarkan kaitan antara zonasi dan pemerataan kualitas pendidikan.
Menurut Nisa, perlu pertimbangan menaikkan kuota jalur prestasi dari 5 persen menjadi 5-15 persen agar tetap sesuai dengan visi pemerataan pendidikan.
”Pembatasan 5 persen memang mengagetkan masyarakat. Tetapi, pelan-pelan perlu dipertimbangkan ulang untuk kembali lebih rendah lagi angkanya karena visinya, kan, tidak ada lagi anggapan favorit atau unggulan," ucapnya.
Sementara peneliti pendidikan pada Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Anggi Afriansyah menambahkan, mekanisme sosialisasi aturan PPDB berbasis zonasi harus lebih gencar dilakukan pemerintah pusat dan daerah. Pemanfaatan beragam jejaring, baik luring maupun daring, perlu dilakukan lebih intens agar PPDB tidak jadi problem tahunan.
Selain itu, pemetaan sekolah dan jumlah penduduk usia sekolah penting dilakukan agar tidak timbul masalah terkait dengan zonasi. Upaya ini perlu pelibatan semua pemangku kepentingan terkait.
”Jangan sampai ada sekolah kosong karena minimnya anak usia sekolah dan jangan sampai hak mendapatkan pendidikan tidak didapat oleh calon peserta didik di wilayah-wilayah yang jumlah sekolahnya terbatas atau bahkan tidak ada,” ujar Anggi.
Persebaran
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat sejumlah keluhan terkait dengan PPDB berbasis zonasi. Keluhan yang paling banyak adalah minim sosialisasi dan tidak paham dengan teknis PPDB yang diterapkan.
Menurut anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, jika sekolah negeri tersebar merata, zonasi tidak akan ada masalah. Persoalan muncul ketika populasi siswa dan jumlah sekolah tidak berimbang.
”Akhirnya anak-anak tersebut harus mendaftar di zonasi lain dan berpotensi tidak diterima di sekolah negeri terdekat. Namun, kalau sekolah negerinya sudah banyak dan merata penyebarannya, sistem zonasi akan aman dan lancar,” ucap Retno.
Menurut Retno, memang ada pilihan sekolah lain, yaitu sekolah swasta. Akan tetapi, banyak sekolah swasta dengan jumlah murid dan tenaga pendidik yang terbatas serta fasilitas pendidikan yang minim.
”Sebagaimana negara-negara yang maju, umumnya jumlah sekolah swastanya berkisar 7-10 persen karena mayoritas sekolah adalah sekolah negeri yang dikelola pemerintah dengan standar kualitas yang sama. Indonesia juga akan memasuki kondisi tersebut,” katanya.