Pemohon, termohon, dan pihak terkait saling apresiasi di akhir sidang pembuktian perselisihan hasil pemilihan presiden. Pekan depan MK akan memutus perkara ini.
JAKARTA, KOMPAS —Tahap pembuktian dalam persidangan perselisihan hasil pemilihan umum presiden di Mahkamah Konstitusi telah selesai dengan berakhirnya persidangan yang menghadirkan saksi dan ahli dari pihak terkait, Jumat (21/6/2019) malam. Sembilan hakim konstitusi selanjutnya akan menggelar rapat permusyawaratan hakim pada 24-27 Juni, sebelum putusan dibacakan paling lambat pada 28 Juni.
Sidang pemeriksaan saksi dan ahli dari pihak terkait semalam berakhir dengan saling apresiasi. Ahli dan para kuasa hukum pemohon dan termohon adalah sesama kolega yang lama aktif berkecimpung di dunia akademis ataupun praktik hukum.
Mereka di antaranya Denny Indrayana dan Luthfi Yazid (kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno), Heru Widodo, serta Eddy Edward OS Hiariej (ahli yang dihadirkan kuasa hukum Joko Widodo-Ma’ruf Amin), alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan selama ini mereka berteman. Sementara Bambang Widjojanto (kuasa hukum Prabowo-Sandi), Luhut Pangaribuan (kuasa hukum Jokowi-Amin), dan Trimedya Panjaitan dari Tim Kampanye Nasional/TKN Jokowi-Amin, merupakan ”alumni” YLBHI.
Di akhir sidang, para pihak juga menyampaikan harapan agar hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bisa memutus perselisihan hasil pemilu
(PHPU) yang diajukan Prabowo-Sandi dengan seadil-adilnya. Adapun putusan MK bersifat final dan mengikat.
Sebelum menutup sidang, kemarin malam, Ketua MK Anwar Usman mengatakan akan segera menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) seusai sidang.
”Kami akan kembali berdebat (dalam RPH). Semua yang disampaikan pemohon, termohon, dan pihak terkait akan jadi dasar bagi kami mencari kebenaran dan berijtihad mencari kebenaran dan keadilan,” katanya.
Di RPH, hakim memformulasikan keyakinannya berdasarkan alat bukti dan fakta persidangan yang mengemuka di tahap pembuktian.
Kewenangan MK
Dalam sidang kemarin, pihak terkait, pasangan Jokowi-Amin, menghadirkan dua ahli dan dua saksi. Saksi yang dihadirkan ialah Candra Irawan, anggota Direktorat Saksi TKN Jokowi-Amin; dan Anas Nashikin, Koordinator Bidang Pelatihan Direktorat Saksi TKN Jokowi-Amin. Ahli yang dihadirkan ialah Eddy OS Hiariej dan Heru Widodo.
Eddy berpendapat, kewenangan MK terbatas pada memutus sengketa terkait dengan selisih suara. MK tidak berwenang memutus perkara terkait sengketa pemilu. Badan Pengawas Pemilu adalah pihak yang berwenang memutuskan sengketa pemilu.
”Permohonan pemohon mencampuradukkan antara perselisihan hasil suara dan sengketa proses serta tahapan pemilu,” kata Eddy.
Dalam permohonannya, pemohon, antara lain, mendalilkan adanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Pemohon, antara lain, meminta majelis hakim mendiskualifikasi paslon Jokowi-Amin.
Eddy tidak sependapat dengan dalil pemohon yang mencontohkan putusan-putusan MK dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang menggunakan dalil TSM. Menurut Eddy, contoh itu tak setara karena kasus yang dijadikan contoh diputus ketika belum ada pengaturan yang jelas terkait sengketa hasil pilkada dan pemilu, yakni pada 2008-2014. Tahun 2015, ada regulasi yang mengatur sengketa proses dan tahapan pemilu diselesaikan melalui mekanisme yang diselenggarakan penyelenggara pemilu.
Untuk membuktikan dalil TSM, Eddy berpendapat, harus ada kejahatan yang direncanakan secara matang dan tersusun rapi.
Sementara Heru Widodo mengatakan, diskualifikasi tidak bisa dilakukan setelah pemungutan suara dilakukan atau hasil pemilu ditetapkan. Hal itu, antara lain, ditunjukkan dengan putusan sengketa pilkada setelah tahun 2015 yang tak mengabulkan permohonan diskualifikasi.
Kuasa hukum pemohon, Bambang Widjojanto, mempersoalkan waktu peradilan yang sempit dan mengaitkannya dengan fakta perkara yang dinilainya cukup berat dibuktikan hanya dalam satu hari pembuktian bagi pemohon. ”Dalam peradilan cepat 14 hari, apakah mungkin menyelesaikan perkara dengan dalil TSM yang merupakan kejahatan serius atau kejahatan luar biasa,” katanya.
Eddy mengatakan, pembatasan waktu tidak menjadi alasan bagi proses pembuktian. Suatu perkara pidana bagaimanapun harus mengandalkan pada bukti-bukti.
Dia juga mengatakan, keadilan substantif dan keadilan prosedural bisa berjalan beriringan. ”Bicara keadilan substantif tidak bisa keluar dari keadilan prosedural. Untuk mencari kebenaran materiil bagaimanapun tidak boleh mengabaikan kebenaran formil atau hukum acara,” katanya.
Transparan
Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable Erwin Natosmal menilai, selama proses pemeriksaan dan pembuktian, MK mampu membuktikan diri sebagai peradilan modern. Pasalnya, publik memiliki akses yang luas terhadap jalannya sidang. Semua pihak selanjutnya harus menghormati apa pun putusan MK dalam perkara ini yang bersifat final dan mengikat.(REK/IGA)