Susah-Senang Hidup di Tengah Kilau Ibu Kota
Jakarta bertambah usia. Ibu kota Indonesia kini dipenuhi berbagai bangunan pencakar langit yang berkilau pada malam hari. Di balik bertambahnya usia Jakarta, sebagian warganya justru cemas kehilangan pekerjaan. Ada pula yang bersorak menangguk untung di ”Batavia”.
Marno (26) sibuk memasukkan potongan-potongan ikan mentah untuk umpan dalam ratusan bubu atau alat penangkap ikan yang tersimpan di perahu. Ratusan bubu itu akan segera disebar ke laut di sekitar pulau reklamasi.
”Sudah empat hari kosong. Kalau ada, paling hanya 3 sampai 4 kilogram,” kata warga RT 012 RW 022 Kelurahan Pluit, Penjaringan, itu, Jumat (21/6/2019).
Marno bersama ratusan nelayan di pesisir Jakarta Utara memilih bertahan meski hasil tangkapan di laut kian tak menentu. Mereka tak dibekali pendidikan, apalagi keahlian untuk beralih pekerjaan. Bermodalkan ijazah sekolah dasar, lelaki asal Serang, Banten, itu melanjutkan pekerjaan yang pernah ditekuni orangtuanya.
Meski hidup kian sulit, sebagian warga di pesisir tak mau kehilangan asa. Edi (62), warga Jakarta yang beralih jadi peternak unggas, usahanya sulit berkembang. Meski memiliki 100 bebek, ia terbelit keterbatasan modal usaha.
Ia sempat berniat mencari tambahan modal dengan mengajukan pinjaman ke bank. Namun, persyaratan tak terpenuhi, salah satunya surat keterangan usaha (SKU) dari kelurahan. ”Kelurahan tidak bisa menerbitkan SKU karena kami tinggal di kawasan hijau. Program pelatihan usaha dan bantuan modal dari pemerintah selama ini tidak pernah sampai di sini,” ujarnya.
Edi berharap Pemerintah Provinsi DKI lebih memperhatikan nasib warga pesisir. Mereka tak berharap muluk, selain diberikan kemudahan dalam mengakses modal usaha dan pelatihan kewirausahaan.
Saat masih melaut, Edi merasakan Teluk Jakarta kian tidak ramah. Laut lepas yang bisa dilalui nelayan kian sempit dan makin tercemar limbah domestik. ”Kami bahkan dilarang melaut di sekitar Pantai Mutiara. Terus, kami mau kerja apa kalau keterampilan dan modal usaha saja tidak punya. Cukup sudah membangun di laut. Sebaiknya pemerintah rancang program pemulihan ekosistem laut,” kata Edi.
Di Pelabuhan Muara Angke, Arya (29), pedagang minuman, terimbas sepinya wisatawan ke Muara Angke. Dua tahun terakhir, penghasilannya kian susut karena banyak orang menganggap tepi pantai itu tak lagi menarik.
Dulu, setiap malam, banyak orang mendatangi pelabuhan untuk sekadar berswafoto atau memancing. Mereka biasanya membeli minuman dan bekal ringan dari pedagang di kawasan itu. ”Saat itu, sehari saya bisa dapat Rp 500.000. Sekarang, Rp 250.000 saja susah karena kami hanya menunggu pengunjung yang mau menyeberang ke Pulau Seribu. Mereka biasanya sudah bawa bekal dari rumah,” ujarnya.
Tak berubah
Tak jauh dari Arya, Tarmo (60) duduk di atas kapal motor penangkap ikan. Sebagai anak buah kapal (ABK), ia baru selesai mempersiapkan bekal untuk berlayar.
Sudah sepekan Tarmo bersama 27 ABK lain berada di darat setelah berlayar selama tiga bulan. Mereka kembali ke darat dengan hasil tangkapan berbagai jenis ikan seberat 32 ton. Jumlah itu jauh dari target yang diminta pemilik kapal, yaitu 70-80 ton ikan. ”Enggak ada gaji karena sistemnya bagi hasil. Kalau hasilnya seperti kemarin, kami enggak kebagian,” kata lelaki asal Tegal, Jawa Tengah, itu.
Tarmo merantau ke Jakarta sejak 1973. Dia pernah bekerja sebagai pengemudi bus, truk, dan terakhir bajaj. Namun, dua tahun lalu, dia berhenti karena pendapatannya sebagai tukang bajaj kian surut lantaran kalah bersaing dengan ojek daring. Bekerja sebagai pelaut, Tarmo merasa nasibnya tak kunjung berubah. Lelaki dengan tiga anak itu justru merasa kian terpenjara kemiskinan.
Memanfaatkan peluang
Sebaliknya, sebagian kalangan justru melihat Jakarta sebagai kota yang penuh peluang. ”Aku suka hidup di Jakarta karena merasa ada banyak peluang yang bisa digarap. Jakarta itu pusat ekonomi dan pemerintahan, jadi semuanya ada. Perusahaan besar juga kantornya berbasis di Jakarta,” kata Abi, pengusaha muda, Direktur PT Karpa Moda Inovasi.
Abi mendirikan perusahaan penyedia layanan teknologi informasi itu awal 2018. Ia melihat, makin banyak perusahaan sadar pentingnya teknologi dalam memajukan bisnis. ”Orang Indonesia makin open minded. Perusahaan yang selama ini enggak pakai teknologi jadi pengin pakai,” tambah Abi yang pernah sekolah S-1 dan S-2 di bidang sistem informasi bisnis di Hochschule Karlsruhe, Jerman.
Baginya, memulai usaha di Jakarta tak sulit. Bantuan untuk persoalan administrasi dan perizinan, seperti melalui notaris, mudah ditemukan. ”Yang penting konsepnya matang dan kita tidak takut mengeksekusinya,” katanya sambil menjelaskan, perusahaannya memiliki tiga karyawan dan mengikat perjanjian dengan dua klien perusahaan.
Besarnya peluang kerja di Jakarta juga dirasakan Hasan, penjual es cendol dekat Stasiun MRT Haji Nawi, Jakarta Selatan. Ia pindah dari Tegal ke Jakarta, akhir 1990-an, setelah lulus SD. Orangtua Hasan saat itu bekerja sebagai pedagang kaki lima dengan penghasilan minim.
Setelah kerja sekitar tujuh tahun di Jakarta, Hasan mengajak orangtua dan saudaranya bekerja di Jakarta. Ia menyediakan gerobak untuk orangtuanya supaya mereka juga dapat menjual es cendol.
”Di Jakarta bisa macem-macem. Usaha makan-minum bisa. Kan, Jakarta pusat pertumbuhan ekonomi. Usaha di Jawa bisa, tetapi pendapatannya lebih rendah. Berhasil atau tidak tergantung orangnya. Yang penting mau berusaha, berkemampuan, dan tahu lapangan,” kata Hasan.
Sehari-hari, Hasan kini bisa menjual 50 gelas es cendol seharga Rp 9.000. Saat ini ia tinggal di dekat Pasar Cipete, Jakarta Selatan, bersama istri dan kedua anaknya. Anak sulungnya masuk TK pada tahun pelajaran mendatang. Adapun si bungsu berusia satu tahun.