Yang Terancam Hilang Seiring Bertambahnya Usia Jakarta
Jakarta bertambah usia. Ibu Kota Indonesia kini dipenuhi pemandangan berbagai bangunan pencakar langit yang berkilau pada malam hari hingga keberadaan transportasi publik massal. Lanskap Jakarta yang kian modern menambah kemewahan Jakarta di usia yang ke-942, hari Sabtu ini, 22 Juni.
Oleh
Stefanus Ato
·4 menit baca
Jakarta bertambah usia. Ibu Kota Indonesia kini dipenuhi pemandangan berbagai bangunan pencakar langit yang berkilau pada malam hari hingga keberadaan transportasi publik massal. Lanskap Jakarta yang kian modern menambah kemewahan Jakarta di usia yang ke-492, hari Sabtu ini, 22 Juni.
Di balik bertambahnya usia Jakarta, sebagian warganya justru diliputi kecemasan karena terancam kehilangan pekerjaan.
Marno (26) sibuk memasukkan potongan-potongan ikan mentah yang akan dijadikan umpan dalam ratusan bubu atau alat penangkap ikan yang tersimpan di perahu. Lelaki itu tak mau berspekulasi terkait jumlah tangkapan yang akan diperoleh. Dia hanya ingin menyelesaikan pekerjaannya sebelum mentari tenggelam. Ratusan bubu itu akan segera di sebar ke laut di Pulau Reklamasi.
”Sudah empat hari kosong terus. Kalau ada juga paling hanya sekitar tiga sampai empat kilogram,” kata Marno, warga RT 012, RW 022, Kelurahan Pluit, Penjaringan, Jumat (21/6/2019).
Marno bersama ratusan nelayan di pesisir Jakarta Utara memilih bertahan meski hasil tangkapan di laut kian tak menentu. Mereka tak dibekali dengan pendidikan, apalagi keahlian tertentu untuk beralih pekerjaan. Lelaki asal Serang, Banten, itu hanya lulusan sekolah dasar yang kini melanjutkan profesi yang pernah ditekuni orangtua.
Meski begitu, sebagian dari warga di pesisir itu tak ingin kehilangan asa. Misalnya Edi (62), warga yang memilih beralih menjadi peternak unggas. Saat ini dia sudah memiliki 100 bebek, tetapi usahanya masih sulit berkembang karena keterbatasan modal usaha.
Lelaki itu sempat berniat mencari tambahan modal dengan mengajukan pinjaman ke bank. Namun, ada beberapa persyaratan yang tak bisa dipenuhi, salah satunya surat keterangan usaha (SKU) dari kelurahan.
”Kelurahan tidak bisa menerbitkan SKU karena kami tinggal di kawasan hijau. Program pelatihan usaha dan bantuan modal dari pemerintah selama ini tidak pernah sampai di sini,” ucapnya.
Edi berharap dengan bertambahnya usia Ibu Kota, pada 22 Juni 2019, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih memperhatikan nasib warga pesisir. Mereka tak berharap muluk, selain diberikan kemudahan dalam mengakses modal usaha dan pelatihan kewirausahaan.
Edi juga meminta agar program reklamasi Teluk Jakarta jangan sampai kembali dilanjutkan. Hal itu dianggap menjadi salah satu penyebab hasil tangkapan mereka sebagai nelayan berkurang karena laut lepas yang dijajal kian sempit dan makin tercemar limbah domestik.
”Kami bahkan dilarang melaut di sekitar Pantai Mutiara. Terus kami mau kerja apa kalau keterampilan dan modal usaha saja tidak kami miliki. Cukup sudah membangun di laut. Sebaiknya pemerintah rancang program pemulihan ekosistem laut,” kata Edi.
Di area Pelabuhan Muara Angke, Arya (29), pedagang minuman, berharap ada upaya dari pemerintah bersama masyarakat menjaga dan membersihkan pesisir Jakarta Utara. Sudah dua tahun penghasilan yang dia didapatkan sebagai pedagang kian berkurang.
Hal itu tidak terlepas dari terus berkurangnya pengunjung ke Pelabuhan Muara Angke karena menganggap tepi pantai itu tak lagi menarik. Dulu, setiap malam banyak pengunjung mendatangi pelabuhan untuk sekadar berswafoto atau memancing. Mereka biasanya berbelanja minuman dan bekal ringan kepada pedagang di kawasan itu.
”Dulu satu hari itu bisa sampai Rp 500.000. Sekarang Rp 250.000 saja susah sekali karena kami hanya menunggu pengunjung yang mau menyeberang ke Pulau Seribu. Tetapi, mereka biasanya sudah bawa bekal dari rumah,” kata lelaki Betawi itu.
Terbuang
Tak jauh dari pedagang minuman itu, Tarmo (60) terlihat duduk di atas sebuah kapal motor penangkap ikan. Lelaki yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) itu baru selesai mempersiapkan bekal yang dibutuhkan untuk kembali berlayar.
Tarmo sudah satu minggu bersama 27 ABK lain berada di darat setelah sempat berlayar selama tiga bulan. Mereka kembali ke darat dengan hasil tangkapan berbagai jenis ikan seberat 32 ton. Jumlah itu jauh dari target yang diminta pemilik kapal, yaitu 70 atau 80 ton ikan.
”Kami enggak ada gaji karena sistemnya bagi hasil. Kalau hasilnya seperti kemarin, kami enggak kebagian,” kata lelaki asal Tegal, Jawa Tengah, itu.
Menurut Tarmo, selama di laut mereka menghabiskan bekal yang oleh pemilik kapal dihitung mencapai Rp 430 juta. Hal itu berarti hasil tangkapan yang didapatkan hanya cukup untuk membayar biaya operasional selama tiga bulan di laut.
Tarmo merupakan pendatang yang merantau ke Jakarta sejak 1973. Dia pernah bekerja sebagai pengemudi bus, truk, dan terakhir bajaj. Namun, dua tahun lalu dia memilih berhenti karena pendapatannya sebagai pengemudi bajaj tak lagi mencukupi karena kalah bersaing dengan ojek daring.
Kini, meski bekerja sebagai pelaut, Tarmo merasa nasibnya tak kunjung berubah. Lelaki yang memiliki tiga anak itu justru merasa kian terpenjara kemiskinan.
”Saat di laut itu, kami seperti dipenjara. Setiap hari hanya makan dan tidur. Kami baru bekerja saat subuh untuk menarik jaring,” katanya.