Sejarah Baru Jakarta
Sejak zaman baheula, Jakarta ibarat benderang lampu yang diserbu laron dari berbagai penjuru. Orang berlomba beradu nasib di Ibu Kota.
Ke Jakarta, aku kan kembali
Walaupun apa yang kan terjadi…
Lirik lagu yang dipopulerkan grup band legendaris Koes Plus tahun 1969 itu terus dinyanyikan—setidaknya oleh generasi X—hingga kini. Lagu itu bercerita tentang seseorang yang harus meninggalkan kampungnya di perdesaan untuk kembali ke Jakarta.
Sejak zaman baheula, Jakarta ibarat benderang lampu yang diserbu laron dari berbagai penjuru. Orang berlomba beradu nasib di Ibu Kota. Sempat terkenal sebutan ”ibu kota lebih kejam dari ibu tiri”. Namun, sepertinya istilah itu kini tidak berlaku lagi karena ibu tiri sekarang banyak yang baik hati.
Banyak di antara mereka yang berhasil atau sukses ”memamerkannya” saat mudik Lebaran. Mereka ibarat iklan nyata yang mengundang lebih banyak orang dari daerah mengikuti jejak mereka yang digambarkan sukses itu. Tidak peduli jika banyak di antara yang tampak berhasil di Jakarta itu menggunakan cara apa mendapatkannya: halal atau terlarang.
Apalagi, kini, mereka yang berasal dari daerah pun dipersilakan datang ke Jakarta. Kebijakan Gubernur DKI Anies Baswedan ini berbeda dengan kebijakan gubernur-gubernur sebelumnya yang setiap musim arus balik Lebaran menggelar Operasi Yustisi Kependudukan. Operasi itu, antara lain, dimaksudkan untuk mengurangi pendatang baru ke Ibu Kota.
Perputaran uang negeri ini pun sejak zaman baheula lebih banyak menggasing di Ibu Kota. Ada masanya perputaran uang di kota metropolitan (sekarang malah megapolitan) ini mencapai 70 persen dari perputaran uang di Indonesia. Jakarta pun seakan menjadi etalase negeri ini.
Kota ini masih layak dijuluki big village atau kampung besar. Istilah itu bukan hanya ditujukan bahwa Jakarta ibarat pot besar berisi begitu banyak warga dari banyak daerah (kampung) dengan segala karakternya.
Akan tetapi, hal itu juga mengingat perilaku warganya yang belum mencerminkan sikap atau kebiasaan sebuah masyarakat yang sudah maju sebagaimana mestinya. Masih banyak orang yang membuang sampah sembarangan.
Tidak sedikit yang membuang sampah dari jendela-jendela mobil mewah. Saling serobot, malas antre, kasar dan tidak sopan, parkir di trotoar, ngelapak atau ramai nongkrong di fasilitas untuk pedestrian, atau menggunakan fasilitas pejalan kaki untuk meloloskan diri dari kemacetan adalah beberapa di antaranya.
Setiap gubernur yang menjabat mencoba membenahi berbagai persoalan Ibu Kota yang sepertinya tak pernah beranjak dari gubernur ke gubernur. Persoalan permukiman kumuh, kesenjangan sosial, banjir, kriminalitas, serta kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas, adalah beberapa di antaranya.
Dalam sejarah perjalanan Jakarta pun, para gubernur itu meninggalkan jejak-jejak atau setidaknya orang akan ingat terhadap apa yang mereka lakukan.
Untuk menyebut beberapa, Gubernur Ali Sadikin (era 1966-1977) alias Bang Ali dikenal sebagai gubernur yang menapakkan dasar-dasar pembangunan Jakarta sejak awal. Orang mengenal gubernur yang dipilih Presiden Soekarno karena sifatnya yang koppig alias keras kepala itu sebagai gubernur tegas, ceplas-ceplos tanpa kompromi.
Perbaikan kampung secara fisik ataupun mental dilakukan melalui proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT). Ada juga sejumlah proyek monumental lain. Saking terkenalnya, Bang Ali terus dianggap sebagai Gubernur DKI dan gubernur yang lain adalah gantinya.
Gubernur Wiyogo Atmodarminto (1987-1992) yang terkenal dengan jargon ”Bersih, Manusiawi, dan Berwibawa” (BMW) menghapus keberadaan becak dari Ibu Kota karena dianggap sebagai alat transportasi yang tidak manusiawi. Langkah itu merupakan salah satu upaya untuk memecahkan masalah kemacetan di Ibu Kota dengan sejumlah program lain.
Ketegasannya, antara lain, dipraktikkan saat membongkar bangunan tak mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB) di kompleks pertokoan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dia juga yang memindahkan pelaksanaan Jakarta Fair atau Pekan Raya Jakarta dari kawasan Monas ke bekas Bandara Kemayoran.
Sementara warga penikmat Transjakarta tentu tidak akan melupakan peran Gubernur Sutiyoso ((1997–-007). Tanpa dia berkeras hati, moda transportasi massal sebagai salah satu cerminan kota yang maju tidak akan terwujud.
Demikian juga dengan jejak Gubernur DKI lainnya, termasuk Gubernur Joko Widodo yang kini menjadi orang nomor satu di Indonesia serta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, penggantinya. Jokowi mewujudkan, antara lain, dimulainya pembangunan fisik proyek angkutan massal modern MRT dari sekian lama rencana dan diskusi sebelumnya.
Jejak Gubernur Ahok pun, di antaranya, terdapat di ruang publik terpadu ramah anak (RPTA) hingga penertiban Kalijodo dan mengubahnya menjadi ruang publik yang menyenangkan.
Memasuki usia ke-492, Jakarta akan terus mencatatkan sejarahnya. Gubernur DKI Anies Baswedan kelak juga akan menjadi bagian dari kisah perjalanan Jakarta. Apalagi, Presiden Jokowi sudah berencana memindahkan ibu kota, tidak lagi di Jakarta. Sebuah sejarah baru sedang dicatat.