Indoktrinasi ala ”Captain Tsubasa”
Berangkat dari imajinasi, manga dan anime ”Captain Tsubasa” berhasil menjadi indoktrinasi yang efektif. Pola ini yang ingin digunakan sebagai salah satu strategi menanamkan nilai-nilai Pancasila.
Siapa tidak kenal ”Captain Tsubasa”? Komik dan film kartun pemain sepak bola karya Yoichi Takahashi yang lahir di Jepang tahun 1981. Berangkat dari imajinasi, manga dan anime itu berubah menjadi indoktrinasi yang efektif. Pola ini yang ingin digunakan sebagai salah satu strategi menanamkan nilai-nilai Pancasila.
Sekitar tahun 1980, sepak bola bukan olahraga populer di Jepang. Bahkan tidak banyak yang mengenalnya. Sepak bola kala itu kalah jauh dibandingkan dengan kepopuleran bisbol.
Yoichi Takahashi termasuk yang larut pada euforia bisbol. Dia bermain bisbol saat masih anak-anak, dan seperti anak-anak Jepang lainnya, bercita-cita menjadi pemain bisbol.
Namun, di tengah jalan, cita-cita itu tak dilanjutkannya. Dia kemudian memilih melampiaskan hasratnya dengan menggambar komik bisbol karena memang dia hobi menggambar.
”Kegilaannya” pada bisbol kemudian berubah saat Piala Dunia 1978 di Argentina. Saat televisi menayangkan laga-laga di Piala Dunia itu, dia penasaran menyaksikannya. Tak dinyana, rasa penasaran itu membuatnya jatuh cinta pada sepak bola.
”Saya melakukan penelitian tentang sepak bola saat itu dan menemukan bahwa di Eropa sepak bola jauh lebih populer daripada bisbol. Sepak bola bahkan olahraga nomor satu di dunia. Apalagi saat itu di Jepang sudah banyak manga tentang bisbol. Jadi, saya pikir saya buat manga sepak bola,” kata Yoichi saat diwawancarai NIPPON, tahun 2011.
Sejak 1981 hingga 1988, 37 volume komik Captain Tsubasa dilahirkan yang dilanjutkan dengan banyak sekuel lainnya. Komik kemudian diproduksi menjadi lebih dari 80 juta kopi di seluruh dunia dan menjadikannya seri manga paling banyak terjual.
Manga Captain Tsubasa kemudian diangkat menjadi anime atau film kartun mulai 1983 dan membuatnya semakin populer.
Efek dari Captain Tsubasa ini tak hanya menguntungkan Yoichi semata. Lebih dari itu, manga dan anime menjadikan sepak bola berkembang dan populer di Jepang. Banyak anak ingin menjadi pemain bola karena Captain Tsubasa. Di antaranya berhasil dan menjadi pemain top seperti Hidetoshi Nakata.
Nakata tiga kali memperkuat tim nasional Jepang di Piala Dunia 1998, 2002, dan 2006. Untuk diketahui, Piala Dunia 1998 merupakan pentas pertama Jepang di turnamen negara-negara itu. Kemudian, pemain gelandang itu telah bermain bersama sejumlah tim di liga Italia dan Inggris selain di Jepang.
Di luar Jepang, sejumlah pemain bola tersohor seperti Lionel Messi, Zinedine Zidane, Alessandro Del Piero, dan Fernando Torres juga mengaku terinspirasi oleh Captain Tsubasa.
Indoktrinasi
Saat kegiatan Rapat Koordinasi dan Temu BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) dengan Media Massa dalam Rangka Bulan Pancasila 2019, di Bekasi, Jumat (21/6/2019), Pelaksana Tugas Kepala BPIP Hariyono menyinggung kisah Captain Tsubasa itu sebagai contoh indoktrinasi tanpa paksaan, yang efektif menanamkan nilai-nilai untuk tujuan positif.
Berangkat dari hal itu, dia mengajak agar pemahaman akan indoktrinasi tidak terus didistorsi.
Tak dimungkiri, selama ini kata indoktrinasi masih kerap dipersepsikan negatif. Indoktrinasi selalu diidentikkan dengan rezim otoriter dan dilakukan dengan cara-cara yang memaksa. Ini tentu berangkat dari indoktrinasi di era Orde Baru yang selalu menitikberatkan pada unsur paksaan.
Maka, ketika BPIP dilahirkan oleh Presiden Joko Widodo, 28 Februari 2018, dan Pancasila bakal menjadi mata pelajaran wajib di sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tak sedikit yang khawatir, strategi Orde Baru akan terulang.
Padahal, tidak demikian arahnya. ”Semua ideologi itu berisi doktrin. Tidak mungkin doktrin tanpa indoktrinasi. Namun, indoktrinasi tidak dengan cara otoriter. Cara penyampaian, metodologi harus dengan cara yang elegan, memberikan harapan, sehingga internalisasi nilai Pancasila lebih optimal,” tuturnya.
Baca juga: Pancasila sebagai Pemersatu
Dia mencontohkan saat BPIP bertemu dengan komunitas pendongeng di Malang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. BPIP mengajak komunitas pendongeng untuk mengubah dongeng kancil. Ini karena tanpa disadari dongeng kancil selama ini berisi pesan negatif karena sosok kancil yang licik.
Isi dongeng pun diubah sehingga kancil menjadi sosok yang mau bekerja sama dengan hewan lainnya. Dari dongeng, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila coba disisipkan.
”Pola-pola tanpa paksaan seperti ini yang coba dikedepankan untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila,” katanya.
Selain dongeng, cerita-cerita rakyat pun disasar untuk diubah jalan ceritanya. Sebab, tanpa disadari, nilai-nilai negatif itu terkandung pula dalam sejumlah cerita rakyat.
Baca juga: BPIP Ajak Media Massa Ikut Membumikan Pancasila
Jika Captain Tsubasa berhasil menjadi indoktrinasi yang efektif buat anak-anak Jepang, bukan tidak mungkin dongeng dan cerita rakyat yang bertebaran di Nusantara bisa menjadi indoktrinasi yang efektif pula untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam denyut kehidupan masyarakat.