Ironi di Tengah Gemerlap Investasi
Kalimantan Barat telah lama menjadi tujuan investasi. Namun, belum seluruh masyarakat menikmati. Potret kemiskinan masih dijumpai di wilayah investasi.
Rumah dengan lantai dan dinding papan yang sudah lapuk berdiri di Desa Rangkung, Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Rumah itu milik Hermanto (37) dan istrinya, Setium (36).
Hermanto dan Setium dirundung masalah hari itu. Ronaldo (14), anak mereka yang baru tamat SMP, terancam tidak bisa melanjutkan ke SMA/SMK. ”Dia punya keinginan sekolah. Namun, saya tidak punya uang. Saya hanya pekerja bangunan yang penghasilannya tidak menentu. Selama Ronaldo di SMP saja, kami sering kesulitan membayar uang sekolah,” kata Hermanto.
Hermanto pernah menjadi buruh sawit di sekitar kampungnya dengan upah Rp 99.000 per hari. Pada 2018, ia diberhentikan karena lama tidak bekerja sebab merawat istrinya yang sakit pendarahan. Menjadi buruh pun kala itu sebetulnya tidak membuat ekonominya lebih baik.
Hermanto dan Setium tidak memiliki tanah warisan untuk berladang sebagai alternatif penghasilan karena sudah dijual orangtua mereka ke perusahaan. Mereka berladang meminjam tanah orang yang sempit. Itu pun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Anak mereka yang lain, Mita (20) dan Yeyen (18), bahkan sejak 2013 dan 2015 putus sekolah. Mereka hanya tamat SD. Mita akhirnya menjadi buruh sawit di daerah itu dengan upah sekitar Rp 100.000 per hari. ”Yeyen, setelah putus sekolah, menyanyi bersama kelompok musik dari acara ke acara. Terkadang penghasilannya Rp 500.000 sekali manggung. Itu pun tidak rutin,” kata Setium.
Hal serupa dialami Amok (40), warga Kampung Sage, Desa Ampadi, Kabupaten Landak. Amok sekeluarga tinggal di rumah berdinding bambu dengan lubang menganga di mana-mana. Pintu kamar hanya terbuat dari terpal lusuh. Anaknya, Helena (19), putus sekolah saat kelas V SD pada 2014. Penghasilan Amok dan suaminya sebagai petani karet tidak mampu membiayai anaknya sekolah.
Cukup banyak anak di kampung itu yang putus sekolah karena kendala ekonomi. Belum lagi, untuk bisa sekolah SD saja perlu perjuangan. Anak-anak kampung itu berjalan kaki sekitar 7 kilometer mengarungi jalan berlumpur menuju desa tetangga. Kisah keluarga Hermanto di Ketapang dan Amok di Landak adalah contoh potret kemiskinan di wilayah investasi. Masih banyak kisah serupa terjadi di wilayah investasi Kalimantan Barat.
Ironi
Data Dinas Perkebunan Kalbar 2017, perkebunan besar swasta di Kabupaten Ketapang merupakan yang terluas di Kalbar, yakni 269.300 hektar dengan produksi 342.871 ton. Tak hanya investasi perkebunan, investasi di Ketapang pun secara umum kecenderungannya tertinggi dari 14 kabupaten/kota di Kalbar.
Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kalbar, realisasi investasi Kabupaten Ketapang 2014 hingga awal 2019 cenderung selalu tertinggi. Realisasi investasi terbaru triwulan I-2019 menunjukkan, alokasi investasi di Ketapang Rp 1,33 triliun.
Meski demikian, jumlah orang miskin terbanyak ada di Kabupaten Ketapang. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah orang miskin di Ketapang pada 2018 sebanyak 54.860 jiwa. Persentase orang miskinnya 10,93 persen, urutan ketiga terbesar di Kalbar.
Indeks kedalaman kemiskinan meningkat dari 1,63 pada 2017 menjadi 2,00 pada 2018. Artinya, semakin banyak orang miskin yang kian jauh dari garis kemiskinan. Keparahan kemiskinan juga meningkat dari 0,40 pada 2017 menjadi 0,64 pada 2018. Artinya, tingkat ketimpangan penduduk miskin relatif semakin besar.
Sementara di Kabupaten Landak, berdasarkan Data Dinas Perkebunan Kalbar 2017, luas perkebunan swasta besar 90.643 ha, terluas ketiga di Kalbar. Persentase kemiskinan 11,77 persen pada 2018, urutan kedua terbesar di Kalbar. Kalbar secara umum memiliki luas perkebunan sawit besar swasta berkisar 1 juta ha-1,4 juta ha, terbesar kedua di Indonesia. Namun, persentase kemiskinan Kalbar pada 2018 tertinggi di Kalimantan, yakni sebesar 7,77 persen.
Tertinggal
Wajah desa pun belum baik. Data dari Pemerintah Provinsi Kalbar, dari 1.418 desa di wilayah konsesi perkebunan, 672 desa berstatus tertinggal dan 478 desa sangat tertinggal. Desa Rangkung di Ketapang dan Ampadi di Landak tersebut pada indeks desa membangun 2016 berstatus desa tertinggal dan pada 2017 malah menjadi desa sangat tertinggal.
Gubernur Kalbar Sutarmidji mengatakan, dari 2.031 desa di Kalbar, hanya ada satu desa mandiri. ”Sekitar 1.600 desa masih masuk kategori tertinggal dan sangat tertinggal. Padahal, ada investasi di situ,” ujar Sutarmidji.
Investasi perkebunan juga tidak berkontribusi terhadap penambahan APBD Kalbar. Ke depan, jika investasi yang akan masuk dinilai tidak menguntungkan daerah, tidak akan dikeluarkan izin.
Untuk mengatasi putus sekolah, pemerintah menyiapkan beasiswa bagi 142.000 siswa SMA/SMK negeri tahun ini. Tahun depan akan diupayakan beasiswa bagi siswa SMA swasta. Untuk mengatasi ketertinggalan desa, tahun ini dibentuk 63 desa mandiri.
Sekretaris Daerah Kabupaten Ketapang Farhan mengatakan, persoalan itu terjadi karena dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) belum terkelola dengan baik oleh perusahaan. Jika terkelola dengan baik, dana itu sebetulnya bisa diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat.
Bupati Landak Karolin Margret Natasa mengatakan, pihaknya telah mengirim surat kepada perusahaan dalam hal penyaluran dana CSR. Penyaluran disesuaikan dengan usulan masyarakat di sekitar lokasi investasi, apakah untuk pendidikan, infrastruktur, atau kesehatan.
Mulfi Huda dari Humas Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalbar mengatakan, pihaknya telah menyalurkan dana CSR untuk beasiswa, kesehatan, dan perbaikan infrastruktur. Penyerapan tenaga kerja lokal juga melebihi rasio. Pihaknya juga berkomitmen mendukung program pembentukan desa mandiri.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman menilai, investasi memang belum berdampak signifikan. Kalaupun ada penyerapan tenaga kerja lokal, mereka hanya pekerja strata terendah. Perlu ada peningkatan kapasitas masyarakat. Perlu ada regulasi pula guna mengatur dana CSR secara lebih jelas.
Dana itu bisa disalurkan untuk beasiswa bagi anak-anak. Kemudian, yang sudah telanjur putus sekolah bisa diberi pelatihan peningkatan kapasitas. Penyaluran dana perlu betul-betul dikontrol agar tepat sasaran.