Badan Pengusahaan Batam akhirnya menunda pemangkasan insentif fiskal terhadap barang penolong dan pelengkap industri. Penundaan dilakukan untuk tetap menjaga iklim investasi. Pencegahan terhadap potensi penyelewengan impor barang konsumsi akan dilakukan setelah ada regulasi dari pemerintah pusat.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Badan Pengusahaan Batam akhirnya menunda pemangkasan insentif fiskal terhadap barang penolong dan pelengkap industri. Penundaan dilakukan untuk tetap menjaga iklim investasi. Pencegahan terhadap potensi penyelewengan impor barang konsumsi akan dilakukan setelah ada regulasi dari pemerintah pusat.
Sebelumnya, pelaku usaha di Batam, Kepulauan Riau, memprotes Peraturan Kepala (Perka) Badan Pengusahaan (BP) Batam Nomor 10 Tahun 2019. Peraturan itu memangkas daftar barang konsumsi yang mendapat insentif fiskal di kawasan perdagangan bebas (FTZ) dari 2.500 jenis menjadi hanya 998 jenis barang.
Protes itu berbuah pada penundaan pemangkasan insentif fiskal. Kepala BP Batam Edy Putra Irawady, Senin (24/6/2019), mengatakan, kebijakan menunda pemangkasan fiskal diambil untuk menjaga kelancaran investasi dan ekspor. Perka No 10/2019 dikhawatirkan akan mengganggu pasokan barang pelengkap industri di FTZ Batam.
Berdasarkan Perka No 10/2019, barang pelengkap yang tidak diimpor langsung pelaku industri wajib dikenai bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan cukai. Jika ingin tetap mendapat insentif fiskal, pelaku industri harus mengimpor tanpa perantara.
Masalah timbul ketika kantor Bea dan Cukai Batam tidak bisa memungut biaya itu karena sistemnya belum siap. Kurangnya koordinasi antarlembaga itu menyebabkan banyak barang pelengkap industri yang dipesan pelaku usaha tidak bisa masuk ke Batam dan tertahan di Singapura.
”Setelah berdialog dengan pelaku usaha, Kamis (20/6), saya meminta peraturan impor barang konsumsi untuk sementara dikembalikan seperti sebelumnya saja. Rasionalisasi insentif fiskal ditunda dulu menunggu regulasi dari pemerintah pusat,” tutur Edy.
Setelah berdialog dengan pelaku usaha, Kamis (20/6), saya meminta peraturan impor barang konsumsi untuk sementara dikembalikan seperti sebelumnya saja. Rasionalisasi insentif fiskal ditunda dulu menunggu regulasi dari pemerintah pusat. (Edy Putra Irawady)
Kebijakan rasionalisasi insentif fiskal terhadap barang konsumsi di FTZ Batam merupakan rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi. Hasil kajian KPK itu menunjukkan insentif fiskal yang diterapkan di Batam selama ini terlalu luas dan berpotensi merugikan negara jika merembes ke luar FTZ.
Menurut Edy, pemangkasan insentif fiskal akan tetap dilakukan BP Batam setelah pengertian barang konsumsi di Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 selesai direvisi. ”Saya tetap pada hasil kajian KPK. Fasilitas fiskal seharusnya dijaga sebatas untuk mendukung investasi dan ekspor,” ujarnya.
Selama ini, banyak pelaku industri di Batam tidak mengimpor sendiri barang pelengkap yang dibutuhkan. Pasokan barang pelengkap industri, yang jumlahnya tidak sebanyak bahan baku dan barang modal, didapat pengusaha dengan membelinya dari importir lain.
Hal inilah yang dikhawatirkan bisa menjadi celah untuk menyelundupkan barang itu ke luar Batam. Jika pengawasannya tidak ketat, importir nakal bisa memanfaatkan insentif fiskal yang didapat untuk mengeruk laba berlipat dengan menjual barang pelengkap ke industri di luar Batam.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Kota Batam Jadi Rajagukguk mengatakan, pengawasan saat ini yang perlu diperketat adalah arus barang keluar, bukan arus barang masuk ke Batam. Ia setuju penyesuaian insentif fiskal ditunda karena dampak yang ditimbulkan menghambat investasi.
Direktur Lalu Lintas Barang BP Batam Tri Novianto Putra mengatakan, dengan ditundanya rasionalisasi insentif fiskal, sistem impor barang pelengkap industri kembali ke cara lama. Semua jenis barang yang diimpor pemegang Angka Pengenal Importir Umum (API-U) akan diberi insentif fiskal. Dengan begitu, saat ini impor barang pelengkap yang tertahan di Singapura sudah bisa masuk ke Batam.