Sudah banyak teman yang mengorbankan jiwa demi tugas penyelamatan. Tidak terhitung lagi berapa yang luka dan cacat. Itu adalah risiko dari sebuah panggilan kemanusiaan.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
Di tengah tuntutan kerja yang memiliki risiko tinggi dengan ketiadaan jaminan kesejahteraan dan keselamatan kerja, kehadiran pasukan penanggulangan kebakaran dan penyelamatan sangat vital. Mereka menjadi pahlawan yang tanpa lelah menjaga Jakarta 24 jam. Sayang, letih mereka belum mendapat penghargaan yang layak dari masyarakat dan pemerintah.
Rizki Kurniawan (29) dan Ridwan (28), petugas Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta Pusat, duduk di depan perangkat alat komunikasi untuk memantau panggilan bantuan dari peristiwa kebakaran atau peristiwa lainnya. Ketika panggilan bantuan masuk dari telepon atau dari radio, dengan cepat mereka meneruskan ke petugas piket yang berjaga untuk segera menuju lokasi.
”Ruang ini tidak boleh kosong dan kami harus siaga jika menerima panggilan. Saya kadang hanya tidur 2 jam sehari karena panggilan bantuan terus masuk. Panggilan tidak hanya sekadar kebakaran, tapi juga hal lain, seperti pohon tumbang, mobil terbalik, menangkap ular, sampai kegiatan gotong royong,” kata Ridwan, yang sudah bekerja selama 8 tahun.
Ia mengatakan, pekerjaan sebagai petugas penanggulangan kebakaran dan penyelamatan menuntut fisik dan mental yang kuat karena waktu kerja yang tidak dapat diprediksi.
Hal tersebut diamini oleh Yusran Aprianto (42), Komandan Regu Sektor 1 Gambir, Jakarta Pusat. Ia mengatakan, pekerjaan sebagai petugas penanggulangan kebakaran dan penyelamatan merupakan pekerjaan panggilan karena kerja yang penuh risiko tinggi.
”Sudah banyak teman yang mengorbankan jiwa demi tugas penyelamatan. Tidak terhitung lagi berapa yang luka dan cacat. Itu adalah risiko dari sebuah panggilan kemanusiaan,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Yusran, petugas yang bergabung harus memiliki fisik yang kuat, terutama dalam hal mental. Mental dibutuhkan untuk keberanian dan menghadapi hal-hal nonteknis, seperti menghadapi amarah dan kepanikan warga.
Tetap fokus
Ia mengatakan, ketika menerima laporan kebakaran dan sampai di lokasi, tidak jarang umpatan kotor terlempar dari mulut warga yang kesal karena datang terlambat atau dianggap tidak becus menangani kebakaran.
”Caci maki sudah menjadi makanan kami. Namun, kami tidak boleh marah dan harus tetap fokus. Kemarahan warga suatu yang wajar karena mereka panik dan takut. Mental kami harus kuat,” kata pria yang sudah bekerja selama 16 Tahun itu.
Seperti pengalaman yang dituturkan oleh Ridwan dan kawan-kawan saat tengah berjibaku memadamkan kobaran api justru diancam dan mendapat perlakuan tidak menyenangkan oleh warga.
”Saat itu, kami coba memotong jalur api agar tidak merembet ke bangunan sebelahnya. Namun, sejumlah warga marah-marah karena kami tidak fokus memadamkan di titik api. Padahal jika kami menyiram ke titik api justru semakin berbahaya karena air akan menjadi panas dan api justru semakin besar serta merembet ke bangunan lainnya,” kata Ridwan.
Yusran melanjutkan, dari panggilan bantuan pertama petugas harus sampai ke lokasi dalam waktu maksimal 12 menit. Namun, ada beberapa faktor petugas datang terlambat ke lokasi kebakaran. Seperti lalu lintas Jakarta yang padat, jalan menuju lokasi yang sempit, parkir mobil dan motor secara sembarangan, keberadaan PKL, sampai jumlah unit dan petugas yang terbatas.
Untuk itu, kata Yusran, pihaknya sering mengimbau masyarakat dapat bekerja sama demi kelancaran lalu lintas. Ia melanjutkan, imbauan sering dilakukan di sela sosialisasi kepada masyarakat terkait cara menjaga rumah dari kebakaran yang disebabkan arus pendek listrik dan kompor gas.
Meski begitu, Yusran tetap bersyukur dan berterima kasih kepada masyarakat yang mau bekerja sama membuka jalan demi kelancaran pekerjaan mereka.
”Selain itu, seharusnya setiap kelurahan satu unit mobil pemadam kebakaran dan 6 personel. Nah, kekurangan ini juga menjadi kendala. Sangat penting untuk pemerintah menyediakan armada dan personel tambahan,” katanya.
Keselamatan kerja
Para petugas tidak hanya bertaruh nyawa dan amarah warga. Mereka juga harus siap dan rela jarang bertemu keluarga karena panggilan 24 jam bekerja seperti momen Lebaran. Banyak petugas yang meninggalkan kebersamaan dan kehangatan keluarga demi melayani dan memastikan situasi keamanan warga.
Tidak hanya itu, pekerjaan dengan tingkat risiko tinggi ini belum diimbangi dengan perhatian pemerintah. Belum ada jaminan keselamatan kerja dan upah yang seimbang dengan risiko kerja terutama untuk petugas yang berstatus PJLP (penyediaan jasa layanan perorangan) tenaga operasional kebakaran.
Mereka diupah hanya berdasarkan upah minimum provinsi dan belum semuanya mendapatkan perlindungan BPJS Kesehatan. Bahkan, mereka harus patungan jika ada salah satu petugas yang mengalami kecelakaan saat bekerja.
Di antara semua duka tersebut, terselip sebuah kebanggaan ketika mereka mampu menuntaskan pekerjaan. Slogan ”pantang pulang sebelum padam” menjadi pegangan kuat untuk terus melayani masyarakat.