Bagi Yung Xiu Kwan (67), warga Hong Kong, undang- undang ekstradisi yang akan memungkinkan orang-orang di bekas koloni Inggris itu dikirim dan diadili di China daratan adalah sesuatu yang menakutkan. Ia merasa muak dengan apa yang dia lihat sebagai cengkeraman Beijing yang mengikis kebebasan sipil.
”Tanpa kebebasan dan demokrasi sama seperti dipenjara, seperti tinggal di kamp konsentrasi. Tanpa kebebasan, (saya) lebih baik mati,” kata Yung seperti dikutip kantor berita AFP, Minggu (16/6/2019).
Protes warga di Hong Kong selama hampir dua pekan terakhir adalah unjuk rasa paling keras yang mengguncang wilayah itu sejak 2014. Peristiwa ini menandai tantangan terbesar yang diperlihatkan Hong Kong kepada Presiden China Xi Jinping sejak ia berkuasa pada 2012.
Upaya pengesahan RUU Ekstradisi, yang belakangan ditunda oleh Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam, adalah kasus terbaru yang mengganggu hubungan Hong Kong-Beijing. Kekesalan di Hong Kong bertambah karena masuknya imigran China yang membuat harga properti di kota itu menjadi sangat tinggi.
Sejak diserahkan kepada China pada 1997, Hong Kong dijamin selama 50 tahun untuk menjalankan pemerintahan sendiri yang efektif, termasuk peradilan independen. Namun, upaya Beijing memaksakan kontrol yang lebih besar atas Hong Kong merusak kepercayaan pada kebijakan ”satu negara, dua sistem” di wilayah itu.
Kaum muda Hong Kong selama ini tumbuh dengan nilai-nilai liberal dan harapan di sebuah kota internasional di luar Tembok Besar China. ”Kebebasan, kesetaraan di depan hukum dan keadilan peradilan adalah nilai-nilai yang secara luas dibagikan di antara orang-orang Hong Kong lintas generasi,” kata Ming Sing, profesor ilmu sosial di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong, pada majalah Time.
”Penindasan Beijing terhadap nilai-nilai itu akan mengundang perlawanan terus-menerus,” ujar Ming. Sejarah membuktikan, setiap upaya Beijing untuk mendekati Hong Kong sejak penyatuan kembali telah ditanggapi dengan kepanikan dan protes yang sering dipimpin mahasiswa. Tahun 2003, misalnya, warga Hong Kong memprotes upaya pemberlakuan undang-undang antisubversi karena undang-undang itu dinilai akan mengikis kebebasan mereka.
Pada 2012, warga Hong Kong memprotes upaya perubahan kurikulum sistem sekolah, antara lain dengan memasukkan sejarah dan budaya China sebagai identitas nasional. Para siswa, orangtua, dan guru kompak menolak upaya itu.
Masih hangat juga dalam ingatan, peristiwa unjuk rasa besar bertajuk Revolusi Payung tahun 2014. Gerakan itu dipicu tuntutan atas reformasi sistem pemilihan umum di Hong Kong. Protes itu mendapatkan perhatian besar dunia.
Hampir lima tahun berselang, Hong Kong kembali jadi sorotan dunia lewat perlawanannya terhadap langkah pemberlakuan RUU Ekstradisi yang dianggap lebih mewakili aspirasi Beijing.(BEN)