Kenaikan harga tiket pesawat memukul pelaku usaha wisata di Sumatera Barat. Usaha yang dibangun bertahun-tahun itu sirna karena semuanya tak lagi sama. Sejumlah pelakunya kini banting setir membuka usaha cuci baju hingga berdagang kasur.
Oleh
YOLA SASTRA
·6 menit baca
Melambungnya harga tiket pesawat memukul pelaku usaha wisata di Sumatera Barat dan tempat-tempat lain. Bisnis dan kerja keras yang dibangun bertahun-tahun sirna, semua tak sama lagi. Biasa mempromosikan keindahan Nusantara, sejumlah pelaku bisnis kini banting setir ekstrem, seperti membuka usaha cuci baju hingga berdagang kasur.
Rusdi Chaprian (39) akhir-akhir ini tidak lagi lekat dengan gawai. Ponsel pintar lebih sering lepas dari tangannya. Enam bulan terakhir, aktivitas sehari-harinya berubah, terutama sejak kenaikan harga tiket pesawat domestik.
”Biasanya ponsel selalu saya bawa ke mana-mana, bahkan ke kamar mandi. Itu demi respons cepat bagi pelanggan. Persaingan di usaha tour and travel ketat,” kata Rusdi, pemilik biro perjalanan wisata Pelangi Holiday, di rumahnya, Padang, Sumatera Barat, Rabu (19/6/2019) siang.
Rusdi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Kantor Pelangi Holiday persis di depan rumah. Namun, aktivitasnya tidak lagi padat. Jarang dia mendengar nada dering telepon ataupun pesan lewat Whatsapp.
Melambungnya harga tiket pesawat sejak awal tahun ini memutar roda kehidupan Rusdi. Bertahun-tahun merintis bisnis, mulai dari sopir travel Padang-Bukittinggi, pengusaha mobil travel, sampai jadi bos biro wisata perjalanan, roda hidup Rusdi saat ini sedang terhenti di bawah.
Kenaikan harga tiket pesawat domestik hingga 100 persen memukul usahanya. Biro perjalanan yang berdiri tahun 2013 itu fokus mendatangkan wisatawan domestik ke Sumatera Barat. Sekarang, segmen pasar domestik megap-megap.
Tanda-tanda tersendatnya pasar wisata domestik mulai terasa sejak Desember 2018. Ponsel yang biasanya nyaris tak henti berdering tiba-tiba senyap. Rusdi mengira usahanya kalah bersaing. Ternyata kondisi serupa juga dikeluhkan biro-biro lain.
Pelangi Holiday dapat dikatakan aset berharga bagi Sumbar. Saat biro lain gencar mengajak warga ke luar daerah atau luar negeri, Rusdi menggaet wisatawan domestik ke Ranah Minang.
Dalam sebulan, Rusdi bisa menggaet sekitar 500 wisatawan domestik, relatif besar untuk ukuran Sumbar. Akan tetapi, sejak harga tiket meroket, nyaris tak ada pesanan. Bahkan, pesanan yang sudah disetujui jauh-jauh hari terpaksa dibatalkan.
Biro wisata Rusdi terhenti sementara. Kantor Pelangi Holiday, persis di rumah Rusdi, tiga bulan terakhir berganti fungsi menjadi gudang. Lima sopir dan satu pemandu wisata ia bebaskan berkegiatan di tempat lain untuk menyambung hidup. Empat dari enam mobil operasional hasil keuntungan perusahaan dijualnya. Pria beranak tiga itu hendak mencoba peruntungan lain dengan usaha penatu (laundry)koin.
”Sejak Januari, saya banting setir ke bisnis lain. Pas Lebaran kemarin, saya juga sempat jualan kasur. Lumayan banyak peminatnya,” ujar Rusdi, diikuti tawa getir. Itu dilakukan demi menghidupi istri dan tiga anaknya.
Mahalnya harga tiket pesawat tak hanya mengubah hidup Rusdi. Hidup para pemandu wisata juga terkena efek telak.
Termizal (54), misalnya, terpaksa beralih jadi petani cengkeh dan pengurus koperasi di kampung halaman, Payakumbuh, karena nyaris tidak ada orderan. Sebelum tiket naik, ia bisa dapat empat-lima perjalanan per bulan.
”Saat jadi pemandu, gampang dapat uang Rp 5 juta-Rp 10 juta per bulan. Sekarang, besar sekali nilai uang Rp 100.000,” kata Termizal, Jumat (21/6/2019).
Termizal enggan menyebut penghasilannya dari bertani dan mengurus koperasi, tetapi yang pasti tidak cukup. Dia pun bingung harus memutar otak agar bisa menghidupi istri dan membiayai sekolah empat anaknya.
Lesu-resah
Lesunya sektor pariwisata dalam negeri turut meresahkan pelaku usaha oleh-oleh. Sejak mahalnya harga tiket dan adanya tarif bagasi, omzet penjualan ataupun produksi oleh-oleh merosot, kecuali pada periode libur Lebaran kemarin. Omzet Pusat Oleh-oleh Keripik Balado Mahkota cabang Air Tawar, Padang, misalnya, merosot hingga 50 persen. Kunjungan wisatawan ke toko berkurang. Daya beli pun lesu.
”Dalam enam bulan terakhir, ibaratnya saya gali lubang terus. Untung saja ada periode libur Lebaran, banyak perantau pulang, sehingga lubang-lubang itu bisa tertutupi meskipun masih impas,” kata Hirwan Hasan (45), koordinator pusat oleh-oleh itu.
Penurunan omzet memang belum berdampak pada pengurangan pekerja di toko. Namun, jika hal itu berlarut-larut, bisa saja toko gulung tikar dan enam pekerja di toko itu dirumahkan. Rabu (19/6/2019) sore, tidak banyak pembeli oleh-oleh yang datang ke toko. Dalam dua jam, hanya ada dua-tiga pengunjung. Padahal, masa liburan sekolah biasanya merupakan masa-masa ramai pembeli.
Tersendatnya sektor wisata domestik akibat mahalnya harga tiket pesawat hampir dirasakan semua biro wisata dan perjalanan di Sumbar. Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Sumbar Ian Hanafiah, Selasa (18/6/2019), mengatakan, tiket pesawat merupakan komponen terbesar dalam setiap perjalanan wisata. Proporsinya sekitar 40 persen dari total biaya.
”Dari dalam hati, kami tentu menginginkan orang berwisata di dalam negeri. Namun, karena kondisinya terlalu berat, kami terpaksa push selling ke luar negeri. Buat paket sebagus apa pun, harga kamar hotel sebagus apa pun, tidak akan menarik jika tiket pesawat mahal,” kata Ian, yang juga pemilik Ero Tour and Travel.
Sementara itu, Ikarsa Tour and Travel menggarap paket perjalanan wisata domestik ke luar Sumbar via jalur darat untuk menyikapi harga tiket, selain mendorong penjualan ke luar negeri. Akan tetapi, paket itu tidak menarik bagi wisatawan karena tidak efektif dan efisien dari segi waktu.
Paket wisata Sumbar-Yogyakarta dengan bus butuh delapan hari, yaitu 4,5 hari perjalanan dan 3,5 hari berwisata. Jika via pesawat, durasi paket lima hari dan perjalanan pergi-pulang cuma hitungan jam.
”Lebih banyak waktu yang habis untuk perjalanan dibandingkan untuk wisatanya. Belum lagi lelah di perjalanan,” ujar Ayu Permatasari, perencana perjalanan wisata Ikarsa, Rabu (19/6/2019).
Ian menuturkan, paket perjalanan wisata ke luar negeri bisa lebih murah karena harga tiket dari maskapai asing tidak naik. Dari perhitungan Ian, biaya perjalanan dari Padang ke Maladewa via Malaysia bahkan jauh lebih murah dibandingkan dari Padang ke Bali. Ke Maladewa, biaya perjalanan hanya Rp 4 juta pergi-pulang, sedangkan ke Bali bisa mencapai Rp 7 juta.
Dikutip Kompas dari salah satu aplikasi layanan perjalanan, biaya perjalanan dari Sumbar ke Bali berkisar Rp 4,8 juta-Rp 6,6 juta per orang pergi-pulang pada periode pertengahan Juni-awal Juli 2019. Tidak semua penerbangan dalam rentang biaya itu gratis bagasi.
Ian menambahkan, permintaan paket domestik sebagian besar biro perjalanan wisata di Sumbar turun signifikan, sedangkan permintaan paket ke luar negeri melonjak. Asita Sumbar memang tidak mendata semua anggota yang mencapai242 perusahaan.Namun, di Ero Tour and Travel, permintaan paket domestik turun 70 persen, sedangkan paket ke luar negeri meningkat hingga 300 persen.
Kenaikan harga tiket menjadi polemik yang belum terselesaikan hingga kini. Harga tiket yang mahal tidak hanya menghambat langkah para pelancong untuk meraih kesenangan. Namun, hal itu juga memukul para pelaku wisata dari setiap lapisan dan mereka tak punya kuasa mengubah keadaan.
Upaya pemerintah menurunkan harga tiket pesawat pekan ini mudah-mudahan terwujud. Lebih dari itu, tidak ada satu pihak yang terkalahkan, semuanya senang.