Kedaruratan itu kerap dinyatakan dalam keadaan yang sesungguhnya tidak benar-benar darurat atau krisis. Kiranya lebih tepat diidentifikasi sebagai keadaan normal.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
Kedaruratan itu kerap dinyatakan dalam keadaan yang sesungguhnya tidak benar-benar darurat atau krisis. Kiranya lebih tepat diidentifikasi sebagai keadaan normal.
Pemikiran ini merupakan hasil karya Agus Sudibyo yang dituangkan dalam buku berjudul Demokrasi dan Kedaruratan. Buku hasil telaah kritis atas pemikir asal Italia, Giorgio Agamben, ini diluncurkan di Hall Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (25/6/2019).
Lulusan Program Doktor Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta pada 2017 ini mengatakan, keadaan darurat merupakan keadaan di mana prosedur umum demokratis tidak bisa mengatasi masalah. Seharusnya ini menjadi sesuatu yang jarang terjadi.
Sementara itu, Agamben melihat, keadaan darurat sebagai abnormalitas yang telah dinormalkan dalam rezim demokrasi. Bahwasanya, kedaruratan ditempatkan sebagai kenyataan yang inheren-sistemik-struktural dalam penyelenggaraan negara dalam keadaan normal.
Normalisasi keadaan darurat dalam rezim demokrasi telah menghapuskan perbedaan distingtif antara keadaan darurat dan keadaan normal. Fakta yang ganjil itu, menurut Agamben, merupakan kecenderungan yang cukup dominan di banyak negara demokrasi.
Sebab, dengan pemerintah mengatakan keadaan darurat, secara tidak langsung kita mengakui bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum berjalan dengan tidak baik. Jika dibiarkan, masyarakat akan menjadi tidak percaya dan pembangkangan akan sulit dihindari.
”Deklarasi status darurat sejatinya merupakan pengakuan bahwa negara tidak berhasil menjalankan janji-janji demokrasi, misalnya supremasi sipil, pemisahan cabang-cabang kekuasaan, kesetaraan dan keadilan, serta kebebasan warga. Prinsip itu dianulir dalam keadaan darurat,” ujar Agus.
Dalam keadaan itu, langkah-langkah ekstra konstitusional, kekuasaan legislatif dan yudikatif diabaikan, kebebasan sipil diterabas, dan kekerasan dibenarkan. Keadaan darurat juga menjadikan alasan pembenar bagi kelompok masyarakat untuk melawan hukum dan kekuasaan resmi.
”Maka, muncullah the sovereign power, yakni kekuasaan yang berdiri di atas hukum, tak terjamah oleh hukum dan kekuatan lain. Akibatnya, muncul pula homo sacer, yaitu orang-orang yang menjadi obyek penyelenggaraan kekuasaan dalam keadaan darurat,” tutur Agus.
Artinya, mereka (homo sacer) menjadi obyek tanpa perlindungan hukum yang semestinya, tanpa hak konstitusional, terpapar kekerasan atau penyerobotan hak, hingga menjadi obyek state of nature orang-orang lain dengan impunitas.
Menyisakan pertanyaan
Dalam tulisannya, Agus mencontohkan kecenderungan yang terjadi di Indonesia dalam menerapkan normalisasi keadaan darurat. Salah satu contohnya ialah pelanggaran terhadap organisasi masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat menjadi contoh aktual normalisasi keadaan darurat di Indonesia. Berdasarkan Perppu Ormas itu, Pemerintah Indonesia membubarkan ormas HTI berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017.
Menurut pemerintah, HTI terindikasi kuat melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta melanggar UU No 17/2003 tentang Ormas. Namun, Agus mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak menggunakan UU itu untuk menindak HTI?
Selain itu, Agus menuturkan bahwa pada dasarnya memang kita tidak setuju dengan ideologi HTI. Namun, mengapa pembubaran HTI tidak dilakukan melalui proses pengadilan sehingga HTI memiliki peluang membela diri? Sebab, HTI sebenarnya memiliki hak konstitusional untuk membela diri di pengadilan.
”Itu yang saya mempertanyakan dalam buku ini. Bukan keputusan pemerintah untuk melarang HTI, tetapi cara pemerintah melarang HTI yang menegasikan UU Ormas,” kata Agus.
Memang tak bisa disangkal, gejala radikalisme dan ekstremisme tumbuh di Indonesia. Namun, benarkah gejala itu secara nyata telah menciptakan gangguan keamanan serius dan keadaan kekosongan hukum yang layak dijadikan alasan pemerintah secara sepihak mengabaikan hukum dalam membubarkan ormas keagamaan?
Normalitas demokrasi
Bagi Agamben, ketika penyelenggaraan status darurat tidak sungguh-sungguh merujuk pada keadaan krisis, akan sulit membedakan antara keadaan krisis dan keadaan normal, antara keberadaan hukum dan kekosongan hukum, antara tatanan dan ketiadaan tatanan.
”Demokrasi mengalami defisit kepercayaan publik.”
Sementara itu, bagi Agus, normalisasi keadaan darurat bukan merupakan paradigma atau totalitas keadaan. Namun, sebuah ”bahaya laten” yang selalu membayangi rezim demokrasi, tetapi tidak selalu menjadi kenyataan.
Itu karena masih ada kebebasan pers, digitalisasi, serta penguatan masyarakat madani yang menjadi kontrol atas kinerja para penguasa. Kontrol ini akan menentukan sejauh mana perwujudan normalisasi keadaan darurat dapat terjadi atau sebaliknya diredam.
Terlepas dari pesimisme Agamben terhadap demokrasi, Agus menyatakan bahwa pemikiran Agamben tetap relevan untuk menjadi peringatan kepada semua pihak, termasuk pemerintah.
”Jangan mudah patah harap terhadap demokrasi. Mari kita kembali ke normalitas demokrasi, yakni koridor demokrasi dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul pada realitas penyelenggaraan kekuasaan, pelaksanaan pemerintah, ataupun hubungan antarwarga,” ujar Agus.