Pemerintah Perlu Berhati-Hati Menetapkan Keadaan Darurat
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah dinilai harus lebih berhati-hati dalam menetapkan status keadaan darurat dalam setiap persoalan yang terjadi. Sebab, status keadaan darurat yang sering diterapkan akan membuat masyarakat tidak percaya kepada pemerintah.
“Begitu pemerintah mengatakan darurat, sebenarnya kita mengakui bahwa pemerintah beserta aparat penegak hukum tidak berjalan dengan baik. Demokrasi yang sering ditangguhkan tidak boleh menjadi sesuatu yang sistemik karena dapat membuat masyarakat tidak percaya pada pemerintah,” kata Agus Sudibyo, penulis buku “Demokrasi dan Kedaruratan”.
Buku yang diluncurkan pada Selasa (25/6/2019) di Hall Dewan Pers, Jakarta Pusat, merupakan hasil disertasi yang diuji dalam sidang terbuka di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada 9 Desember 2017. Judul disertasi Agus, yakni “Normalisasi Status Darurat sebagai Potensial dalam Negara Demokrasi: Telaah Kritis atas Pemikiran Giorgio Agemben”.
Agus saat ini merupakan anggota Dewan Pers (2019-2022) dan Head of New Media Research Center di Akademi Televisi Indonesia Jakarta. Buku ini ditulis dengan memproblematisir hubungan antara keadaan darurat, status darurat, dan state of exception dengan demokrasi.
Acara peluncuran buku dihadiri oleh Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo. Hadir pula sebagai penanggap, antara lain peneliti utama bidang politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottingi, Jaksa Agung periode 1999-2001 Marzuki Darusman, dan Ketua Mahkamah Agung periode 2001-2008 Bagir Manan.
Menurut Agus, pemikir asal Italia Giorgio Agamben terlalu ekstrem melihat normalisasi keadaan darurat dalam rezim demokrasi. Sebab, ia mengabsolutkan bahwa semua rezim demokrasi adalah rezim yang melakukan normalisasi demokrasi dalam keadaan darurat.
Sementara Agus memandang, normalisasi keadaan darurat itu memang berpotensi terjadi, namun tidak selalu demikian. “Meski begitu, normalisasi keadaan darurat selalu menjadi ancaman bahaya laten yang membayangi rezim demokrasi,” ujarnya.
Terlepas dari pesimisme Agamben terhadap demokrasi, Agus mendorong agar pemerintah terus kembali pada normalitas demokrasi untuk menyelesaikan permasalahan. Baik masalah yang muncul dalam realitas penyelenggaraan kekuasaan, pelekasanaan pemerintahan, maupun hubungan antarwarga.
Sejalan dengan itu, Bagir Manan mencontohkan, umumnya penegak hukum terdiri dari polisi, jaksa, dan hakim. Namun, Indonesia juga memiliki satu institusi spesial untuk menangani keadaan darurat korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Artinya, penegak hukum tidak bisa berfungsi dengan baik sehingga kita membutuhkan KPK. Maka kita perlu kembali melihat tatanan kenegaraan yang justru memberi peluang untuk itu. Bukan hanya mekanisme politik yang kita benahi tetapi dasar-dasar penegakan hukum yang harus kita benahi,” kata Bagir.
Marzuki Darusman pun berpandangan demikian. Dia menyoroti bahwa dalam bidang politik, khususnya terkait pemilihan presiden 2019 telah terjadi semacam kedaruratan yang dimanisfestasikan oleh diskresi pemerintah.
Menurut Marzuki telah terjadi penjarahan pikiran orang yang dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk mengosongkan pikiran. Hal ini serupa dengan penjarahan terhadap toko yang memindahkan barang-barang dan menyisakan kekosongan.
Dalam keadaan itu, pemerintah melakukan berbagai tindakan optimum dalam upaya pengamanan terhadap toko, demikian halnya terhadap pikiran. Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika hal serupa kembali terjadi.
“Apa yang akan terjadi jikalau ada krisis yang lain, apakah harus ada tindakan lebih optimum. Ini pun yang membuka celah bagi penyempitan di dalam ruang gerak politik dan demokrasi. Inilah dilema yang sedang kita hadapi,” kata Marzuki.
Dengan begitu, Marzuki memandang bahwa yang perlu menjadi perhatian bersama adalah bagaimana kita menciptakan ketahanan di tengah masyarakat agar tidak terjadi ketegangan demikian. Setidaknya mitigasi dari kecenderungan eskalasi tindakan perkecualian tersebut.
Bambang Soesatyo menyampaikan, memang dalam berdemokrasi, Indonesia merupakan negara yang masih terus belajar. Sebagai bangsa berdemokrasi Pancasila, dia menilai bahwa Indonesia harus terus berjuang agar kondisi darurat tidak terjadi.
“Saya optimis itu (kondisi darurat) tidak akan terjadi. Kita harus berkeyakinan bahwa demokrasi dalam sistem berbangsa harus mengutamakan persatuan dan kesatuan di atas kepentingan golongan dan sekelompok orang tertentu,” katanya.
Menurutnya, buku ini akan menjadi tawaran solusi bagi bangsa untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi dalam berbagai tantangan. “Buku ini jelas akan memperkaya khazanah bangsa untuk terus berproses mewujudkan esensi demokrasi, yaitu kesejahteraan bagi masyarakat,” ujar Bambang.