KENDARI, KOMPAS Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan masalah pengelolaan pertambangan di Sulawesi Tenggara. Dari total 393 izin yang dikeluarkan, hanya dua perusahaan yang benar-benar melengkapi semua persyaratan atau clear and clean.
Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi memaparkan, dari 393 perusahaan tambang yang tercatat memiliki izin usaha pertambangan (IUP), hanya 52 yang kelengkapan izinnya cukup baik. ”Itu tidak sempurna. Yang cukup sempurna cuma lima dan yang sempurna (CnC) baru dua,” kata Ali Mazi dalam rapat koordinasi dan supervisi bersama KPK di Kendari, Senin (24/6/2019). Hadir dalam kegiatan itu Wakil Ketua KPK La Ode M Syarif dan sejumlah pejabat lintas instansi.
Sertifikasi CnC merupakan syarat yang harus dipenuhi pemilik IUP. Persyaratan itu bentuk tata tertib administrasi dan wilayah tambang sekaligus menjaga agar pertambangan berjalan baik dari sisi izin, operasional, dan dampaknya. Wewenang pemberian status CnC ada di tingkat provinsi sebagai pihak yang mengeluarkan IUP.
Menurut Ali Mazi, pemprov telah mengundang perwakilan perusahaan tambang. Sekitar 200 perwakilan hadir, tetapi belum ada kelanjutan terkait hal ini. Di Sultra, kata Ali Mazi, ada masalah IUP yang luasnya melebihi luas wilayah. Belum lagi soal jaminan reklamasi dan pascatambang yang belum diserahkan ke provinsi. ”Masalah tambang ini penting sekali karena itu kami mohon dukungan KPK,” katanya.
La Ode M Syarif menyarankan agar perusahaan yang izinnya belum lengkap dan sedang diperpanjang untuk tidak dilanjutkan. Lalu, jika perusahaan yang izinnya masih lama dan tidak memperbaiki diri agar dibekukan atau dicabut izinnya. Saya kaget mendengar cuma dua yang CnC. Kami datang untuk memperbaiki itu. Tadi gubernur dan daerah juga sudah berkomitmen,” katanya.
Syarif mengingatkan, dampak tambang bagi masyarakat sangat kurang. Tambang sumber daya yang tidak bisa diperbarui dan akan habis. Sementara dampak tambang begitu besar bagi lingkungan dan masyarakat. Jumlah yang ditambang tak sebanding dengan penerimaan daerah. Jadi, ia mendorong agar hal itu menjadi perhatian khusus daerah, selain beberapa masalah lain.
Berdasarkan data Pemprov Sultra, pendapatan yang diterima daerah dari sektor tambang 2018 sebesar Rp 99,8 miliar, sedangkan total penerimaan daerah Rp 705 miliar. Nilai ini diperkirakan masih sangat kecil dibanding potensi tambang sesungguhnya. Di satu sisi, kerugian akibat tambang tak ternilai. Juni ini saja, puluhan ribu warga Sultra terdampak banjir dan banjir bandang.
Rumah, sawah, perkebunan, dan fasilitas publik hancur. Besaran kerugian masih dihitung. ”Untuk buka perusahaan tambang saja orang butuh ratusan miliar rupiah. Ini untuk semua penerimaan hanya Rp 99,8 miliar. Sangat kecil nilainya,” kata Syarif.
Persoalan tambang tidak hanya soal IUP dan royalti. Dana jaminan reklamasi yang seharusnya sudah disetor ke provinsi belum tuntas. Beberapa daerah belum menyerahkan.
Adlinsyah Malik Nasution, Koordinator Wilayah VIII Korsup KPK, menuturkan, ada tiga daerah belum menyerahkan dana jaminan reklamasi dan pascatambang. Daerah itu Kabupaten Bombana, Konawe Selatan, dan Konawe. (JAL)