JAKARTA, KOMPAS – Koordinasi dan komitmen pemerintah dalam mengendalikan produk tembakau perlu diperkuat, termasuk pengendalian rokok elektrik. Sejumlah pemangku kepentingan pun sepakat mendorong adanya kebijakan terkait larangan rokok elektronik di Indonesia.
Berbagai risiko buruk terbukti bisa muncul dari penggunaan rokok elektrik. Tidak hanya mengancam kesehatan, seperti adanya kandungan karsinogen penyebab kanker dan masalah adiksi nikotin, rokok elektrik juga rentan disalahgunaan untuk pemakaian narkoba. Dampak sosial ekonomi pun bisa muncul dari penggunaan produk tersebut.
Pelaksana Harian Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Reri Indriani mengungkapkan, rokok elektrik menimbulkan dampak negatif yang lebih besar dibandingkan potensi manfaat yang ditimbulkan. Belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan keamanan dan efektivitas produk ini sebagai alat terapi berhenti merokok.
“Risiko bertambahnya perokok pemula serta perokok yang menggunakan rokok elektronik dan konvensional di kalangan anak dan remaja justru meningkat. Sementara, kemampuan negara dalam mengawasi dan mengatur rokok elektronik belum memadai karena belum ada regulasi yang terkait,” katanya pada forum diskusi bertajuk “Tinjauan Kebijakan Rokok Elektrik” di Jakarta, Selasa (25/6/2019).
Dalam forum tersebut sejumlah lembaga menyetujui adanya larangan rokok elektrik di Indonesia, antara lain Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Kesehatan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan sejumlah akademisi.
Ilmuwan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Ranti Fayokun menuturkan, rokok elektrik memiliki daya tarik yang besar untuk anak dan remaja. Kemasan yang ditawarkan cenderung lebih modern. Cairan untuk rokok elektrik juga memiliki rasa yang bervariasi. “Seolah-olah produk ini tidak berbahaya bagi penggunanya, padahal secara ilmiah dibuktikan bersifat racun bagi tubuh,” ucapnya.
Pengamat Masalah Kesehatan Masyarakat Hasbullah Thabrany menilai, rokok elektrik bisa menjadi ancaman epidemi tembakau baru. Beban ganda justru bisa muncul dari penyakit yang berhubungan dengan perilaku merokok, baik akibat rokok elektrik maupun rokok konvensional.
Menurut dia, klaim kesehatan yang ditawarkan dari penggunaan rokok elektrik dapat menjebak masyarakat. Opini yang terbentuk pun menjadi terbalik dari kenyataan bahaya rokok elektrik. “Jika dibiarkan dan tidak ada aturan penggunaan rokok elektrik, pengendaliannya jauh lebih susah dibanding rokok konvensional,” katanya.
Klaim kesehatan yang ditawarkan dari penggunaan rokok elektrik dapat menjebak masyarakat. Opini yang terbentuk pun menjadi terbalik dari kenyataan bahaya rokok elektrik
Dari beban ekonomi yang ditimbulkan, rokok elektrik bisa lebih tinggi dari rokok konvensional karena harga yang ditawarkan lebih mahal. Pengeluaran masyarakat untuk membeli rokok konvensional terhitung sekitar Rp 1,1 triliun setiap hari. Hitungan ini didapatkan dari jumlah pengguna rokok sebesar 90 juta penduduk dengan harga rokok Rp 1.000 per batang dan rata-rata rokok yang dihisap sekitar 12,3 batang per hari.
Bahaya lain dari penggunaan rokok elektrik adalah adanya penyalahgunaan narkotika dari cairan yang dihisap. Kepala Pusat Laboratorium Narkotika Badan Narkotika Nasional (BNN) Mufti Djusnir menyebutkan, setidaknya ada lima jenis narkotika yang ditemukan dikonsumsi menggunakan rokok elektronik. Jenis tersebut antara lain Tetrahydrocannabinol (ganja), 5-Fluoro-ADB, dan Cannabidiol.
“Hampir setiap bulan kami menemukan adanya kasus narkotika dari penggunaan rokok elektrik. Untuk itu, secara tegas BNN menolak adanya peredaran rokok elektrik di Indonesia. Sikap ini diperlukan untuk melindungi generasi muda karena sebagian besar penggunanya anak muda,” ujarnya.
Penetapan regulasi
Direktur Pengawasan Keamanan, Mutu dan Ekspor, Impor Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM Tri Asti Isnariani menuturkan, regulasi rokok elektrik di Indonesia mendesak dibentuk untuk meminimalisir risiko kesehatan yang potensial bagi pengguna rokok elektrik. Rokok elektrik bisa menjadi pintu masuk ketergantungan pada produk nikotin.
Saat ini, standardidasi kualitas komposisi larutan pada rokok elektrik juga belum disusun. Sejumlah studi yang dilakukan di Perancis menemukan kandungan nikotin pada rokok elektrik lebih besar dua sampai lima kali dibanding rokok konvensional.
“Dari banyaknya bahaya rokok elektrik, kami usulkan agar pemerintah segera menyusun policy paper terkait kebijakan pelarangan rokok elektrik. Kami minta Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bisa menjadi leading sector pembentukan kebijakan ini,” ujar Tri.