Penyiksaan Kerap Terjadi di Lapas, Sistem Pencegahan Harus Diperbaiki
Penyiksaan masih kerap terjadi di dalam lapas. Berkaca pada hal itu, dalam peringatan Hari Antipenyiksaan Internasional yang jatuh hari ini (26/6/2019), sejumlah lembaga negara menekankan pentingnya sistem pencegahan penyiksaan yang lebih baik di lapas.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyiksaan masih kerap terjadi di lembaga pemasyarakatan atau lapas. Tidak hanya oleh petugas lapas, tetapi juga oleh sesama narapidana. Berkaca pada hal itu, dalam peringatan Hari Antipenyiksaan Internasional yang jatuh hari ini (26/6/2019), sejumlah lembaga negara menekankan pentingnya sistem pencegahan penyiksaan yang lebih baik di lapas.
Lembaga negara dimaksud, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman Republik Indonesia, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Untuk diketahui, Hari Antipenyiksaan Internasional berawal ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Konvensi Antipenyiksaan pada 26 Juni 1987. Momen itu menjadi pengingat bagi masyarakat dunia bahwa penyiksaan merupakan tindakan ilegal yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat.
Dalam dialog publik memperingati Hari Antipenyiksaan Internasional di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa, Wakil Ketua Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengatakan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT) melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998.
Ratifikasi konvensi tersebut mengharuskan negara peserta untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan langkah-langkah lainnya untuk mencegah penyiksaan.
”Maka, kita mesti membangun sistem pencegahan agar tidak terjadi penyiksaan. Peraturan perundang-undangan betul-betul harus menghormati hak asasi manusia dan mengupayakan pencegahan,” ujar Moniaga.
Khusus untuk peringatan tahun ini, fokus diarahkan pada penyiksaan yang masih kerap terjadi di tempat-tempat di mana kebebasan individu tercerabut, utamanya lapas. Penyiksaan di lapas seharusnya tidak terjadi lagi karena menjadi tanggung jawab aparat untuk melindungi penghuni lapas.
Moniaga menilai, pemerintah memang kian terbuka, tidak lagi membatasi akses untuk mengawasi lapas. Keterbukaan itu tecermin dari ditandatanganinya nota kesepahaman antara Komnas HAM dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada 2016. Dalam nota kesepahaman itu, pihak luar termasuk Komnas HAM bisa mengawasi dan melindungi narapidana yang menjadi korban penyiksaan di dalam lapas. Namun, tetap saja penyiksaan di lapas masih kerap dilaporkan.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chozaifaha mengatakan, di lapas-lapas perempuan, penyiksaan sering terjadi. Penyebabnya adalah kondisi lapas yang kelebihan narapidana. Persoalan sepele kerap membuat antarsesama narapidana bertengkar yang kemudian berujung pada penyiksaan. Temuan ini berdasarkan pemantauan yang dilakukan Komnas Perempuan sejak 2011.
”Sepanjang malam mereka hanya bisa duduk. Mereka bahkan mudah konflik hanya gara-gara buang air atau bersin. Belum lagi soal penyebaran penyakit, satu sakit yang lain kena,” kata Yuniyanti.
Salah satu mekanisme pencegahan penyiksaan yang efektif yakni meratifikasi Optional Protocol CAT (OpCAT). OpCAT bersifat komplementer, dan diyakini akan memperkuat komitmen negara pada pencegahan penyiksaan.
OpCAT bertujuan mencegah penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya dengan membentuk sebuah sistem yang terdiri dari kunjungan berkala ke seluruh tempat yang penghuninya tercerabut kebebasannya seperti lapas.
Ratifikasi OpCAT juga akan memberikan nilai lebih pada Indonesia di mata dunia internasional sebagai negara yang berkomitmen melindungi HAM.
”Selain itu, juga akan ada legitimasi moral bagi perlindungan warga negara Indonesia di mana pun,” kata Moniaga.