Organisasi masyarakat sipil mendesak PLTU Sektor Ombilin menghentikan sementara operasi pembangkit di Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat. Kerusakan filter salah satu cerobong asap pembangkit sejak Juni 2018 mencemari udara dan mengancam kesehatan warga. Buruknya penanganan sisa pembakaran batu bara yang tergolong limbah B3 dan lalu lintas truk besar yang menimbulkan debu juga dikeluhkan.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS -- Organisasi masyarakat sipil mendesak PLTU Sektor Ombilin menghentikan sementara operasi pembangkit di Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat. Kerusakan filter salah satu cerobong asap pembangkit sejak Juni 2018 mencemari udara dan mengancam kesehatan warga. Buruknya penanganan sisa pembakaran batu bara yang tergolong limbah B3 dan lalu lintas truk besar yang menimbulkan debu juga dikeluhkan.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Wendra Rona Putra di Padang, Senin (24/6/2019), mengatakan dalam seminggu terakhir, terjadi peningkatan signifikan debu halus berukuran 2,5 mikron atau PM 2,5 yang dihasilkan PLTU Ombilin. Peningkatan itu mencapai empat kali lipat dibandingkan parameter maksimal yang ditetapkan pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal parameter maksimal PM 2,5 hanya 100 mikron per meter kubik.
Berdasarkan hasil pemantauan kualitas udara ambien yang dipasang LBH Padang bekerja sama dengan Greenpeace Indonesia, jumlah PM 2,5 yang lepas ke udara pada Senin (17/6/2019) pukul 21.00 mencapai 315 mikron per meter kubik (µg/M3). Kondisi itu, kata Wendra, konsisten hingga Selasa (18/6) dini hari dan meningkat menjadi 372 mikron per meter kubik pada Rabu (19/6) dini hari. Puncaknya terjadi pada Kamis (20/6) pukul 20.00, mencapai 423 mikron per meter kubik.
Selain filter rusak, kata Wendra, buruknya penanganan sisa pembakaran batu bara (fly ash and bottom ash/FABA) dan aktivitas truk besar di sekitar lokasi juga dipersoalkan. Limbah FABA (tergolong limbah B3) hanya dionggok di sekitar pembangkit tanpa penutup dan tanpa tanda peringatan. Debu dari limbah itu berpotensi beterbangan sehingga membahayakan warga dan merusak lingkungan. Begitu pula dengan lalu lintas truk besar yang menerbangkan debu limbah FABA ataupun debu batu bara di jalan yang biasa diakses warga.
“Kami mendesak agar PLTU Sektor Ombilin segera menghentikan operasi pembangkit tersebut hingga proses perbaikan selesai,” kata Wendra. LBH Padang juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menegakkan hukum pidana lingkungan serta meminta Kementrian ESDM mengevaluasi operasi PLTU Ombilin.
Kami mendesak agar PLTU Sektor Ombilin segera menghentikan operasi pembangkit tersebut hingga proses perbaikan selesai
Menurut Wendra, KLHK pernah memberikan sanksi administrasi terhadap PLTU Ombilin pada 28 Agustus 2018. Sanksi itu termuat dalam Keputusan Menteri LHK No. 5550/Menlhk-PHLHK/PPSA/GKM.0/8/2018 tentang Penerapan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah kepada PT PLN Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan Sektor Ombilin. Beberapa pelanggaran PLTU Ombilin terkait pencemaran udara karena kerusakan filter dan pengelolan limbah B3 berupa FABA. Namun, paksaan pemerintah itu belum dilakukan.
“Kami mendorong KLHK menerapkan sanksi hukum pidana lingkungan karena sejak setahun terakhir status PLTU Ombilin proper hitam. Jika tidak dikenai sanksi tegas, sanksi administrasi dalam bentuk apapun hanya akan disepelekan. Ini akan berbahaya terhadap kesehatan masyarakat,” ujar Wendra.
Secara terpisah, Pengkampanye Tambang dan Energi Walhi Sumbar Zulpriadi mengatakan, dari pemantauan Walhi, limbah B3 tersebut dibiarkan menggunung di belakang PLTU. Jaraknya hanya hitungan meter dari bibir Batang Ombilin. Tinggi gunungan limbah B3 itu mencapai 25 meter dan panjang sekitar 200 meter.
“Selain berdampak ke kesehatan warga, limbah B3 itu bisa merusak Batang Ombilin. Batang Ombilin sekarang tidak lagi jernih. Abu limbah FABA masuk ke air,” kata Zulpriadi.
Humas PLTU Sektor Ombilin Dicky Adia Ruza belum dapat dikonfirmasi terkait persoalan ini. Ketika dihubungi dari Padang, Dicky tidak mengangkat telpon. Pesan singkat melalui aplikasi WhatsApp juga tidak ditanggapi.
Adapun Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK Rasio Ridho Sani mengaku, belum mendapatkan laporan terkait masalah itu. Sementara, terkait sanksi yang belum dilaksanakan PLTU Ombilin Rasio juga belum bisa banyak berkomentar. “Nanti saya cek ke unit terkait sanksi,” kata Rasio.
Dampak kesehatan
Sementara itu, Gusrinal (55), warga Desa Sijantang Koto, yang rumahnya tidak sampai 1 kilometer dari pembangkit mengatakan, warga sudah lama mengeluhkan berbagai persoalan tersebut dan sering berdemonstrasi, terakhir 9 Mei 2019. Namun, hingga sekarang masalah itu tidak kunjung diperbaiki.
“Anggota keluarga, termasuk saya, sering mengalami batuk-batuk. Banyak debu di sekitar rumah, mulai di meja makan, tutup gelas, tutup penanak nasi, kamar mandi, hingga kamar tidur. Atap rumah dan tumbuhan di sekitar rumah juga dipenuhi debu,” kata Gusrinal.
Berdasarkan data BPS Sawahlunto tahun 2015-2017, jumlah warga yang mengalami penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Kecamatan Talawi menunjukkan tren peningkatan. Pada 2015, jumlah warga yang terkena ISPA 4.914 orang. Sementara itu, pada 2016, jumlahnya menurun jadi 4.667 orang. Namun, pada 2017, jumlah melonjak lagi menjadi 5.038 orang. Jika diambil data 2017, jumlah penduduk terkena ISPA mencapai 26 persen dari total 19.038 orang penduduk.
Sementara itu, berdasarkan salinan dokumen yang dimiliki LBH Padang terkait hasil penelitian PLN bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia Kota Sawahlunto terhadap siswa SDN 19 Sijantang pada 2017, ditemukan 76 persen siswa mengalami penurunan fungsi paru serta mengalami bronkitis kronis dan TB paru. Jumlah siswa yang diteliti sebanyak 50 orang dari kelas III dan IV.
Gusrinal berharap, pihak berwenang segera menyelesaikan persoalan ini. Jika dibiarkan berlarut, kesehatan warga sekitar semakin terancam.