Kapasitas pemerintah daerah yang beragam membuat tata kelola guru saat ini kurang efektif. Ini antara lain berdampak pada distribusi guru yang tidak merata.
JAKARTA, KOMPAS – Jumlah guru yang terbatas dan distribusi yang tidak merata dinilai menjadi sumber utama permasalahan guru saat ini. Efisiensi tata kelola guru perlu dilakukan segera agar mutu pendidikan bisa terwujud secara berkelanjutan.
Upaya transformasi dalam sistem tata kelola guru bisa dimulai dengan memberikan kewenangan rekrutmen dan penempatan guru kepada pemerintah pusat. Selain itu, pembagian urusan pendidikan antarpemerintah daerah juga perlu dikaji ulang dari pembagian berdasarkan jenjang pendidikan menjadi fungsi manajemen.
Unifah Rosyidi menyampaikan hal itu dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan Bidang Ilmu Manajemen Pendidik dan Tenaga Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Senin (24/6/2019) di Jakarta. Saat ini, Unifah juga menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
“Pembagian urusan pendidikan dari sistem desentralisasi seharusnya dibagi berdasarkan fungsi manajemen atau bidang pelayanannya, misalnya urusan pemerintah daerah mana yang menangani biaya operasional sekolah, pelatihan guru, pendidikan guru, gaji guru, atau pun pengadaan sarana dan prasana,” ujarnya.
Pembagian urusan pendidikan antara pemerintah daerah dijalankan sekarang berdasarkan jenjang pendidikan. Jenjang sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) menjadi kewenangan pemerintah kabupaten atau pun kota, sementara jenjang sekolah menengah atas (SMA) dibawah pemerintah provinsi. Sistem ini dinilai berdampak pada ketidakpedulian masing-masing kepala daerah atas jenjang pendidikan yang bukan menjadi tanggung jawabnya.
Selain itu, Unifah juga menyarankan adanya sentralisasi dalam tata kelola guru di Indonesia. Sistem ini dinilai bisa menyelesaikan masalah distribusi guru yang tidak merata.
“Kapasitas pemerintah daerah sangat bervariasi sehingga mekanisme tata kelola guru yang terjadi saat ini menjadi kurang efektif. Untuk itu, perlu dikaji ulang kemungkinan dilakukannya sentralisasi tata kelola guru untuk memperkuat mutu yang berkelanjutan. Sentralisasi ini bisa dilakukan mulai pada sistem rekrutmen dan penempatan guru,” katanya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang turut hadir dalam acara pengukuhan itu mengatakan, usulan terkait sentralisasi penanganan masalah guru akan menjadi catatan yang akan dikaji oleh pemerintah. Implementasi usulan tersebut masih memerlukan beberapa tahapan, mulai dari analisis masalah, formulasi masalah, hingga formulasi kebijakan.
Meski begitu, ia menilai, rekomendasi tersebut bisa memperkuat perbaikan kebijakan zonasi yang berlaku saat ini. “Jika masalah guru bisa diselesaikan dengan sentralisasi, saya perkiraan sekitar 60 persen urusan pendidikan bisa selesai. Karena saat ini, permasalahan pendidikan yang paling krusial itu soal guru,” ucapnya.
Rotasi
Terkait pemerataan guru, Muhadjir menyatakan akan segera menjalankan sistem rotasi dengan pendekatan zonasi. Pendekatan ini dilakukan sebagai upaya pembenahan kualitas sekolah negeri di Indonesia.
“Untuk rotasi akan kita utamakan per zona. Kita petakan tingkat ketimpangannya seperti apa. Paling mudah akan diselesaikan untuk ketimpangan tinkat SD karena (guru) tidak berkaitan dengan satu bidang studi saja. Sementara untuk SMP, SMA, dan SMK akan kita lihat di bidang studi yang dipegang (guru),” katanya.
Ia menambahkan, rotasi guru juga dipersiapkan dalam penerapan multisubjek dan multikelas. Setiap guru diharapkan memiliki pengalaman mengajar di setiap tingkatan kelas. Misalnya, guru di jenjang sekolah dasar diharapkan memiliki pengalaman mengajar mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Guru pun diharapkan mampu menguasai sejumlah bidang studi berbeda yang masih serumpun.
“Kita akan beri pendidikan lagi ke guru untuk memiliki kemampuan ilmu lain yang masih serumpun. Jadi guru sosial bisa menguasai ilmu sosial lainnya agar bisa memegang mata pelajaran lain,” kata Muhadjir.