JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah hampir pasti menetapkan lokasi Ibu Kota baru di Pulau Kalimantan. Segala aspek, termasuk daya dukung lingkungan hidup diperhitungkan.
Namun, perhatian terhadap aspek pertahanan dan keamanan Ibu Kota baru baru kali ini mendapat perhatian. Mewujudkan pertahanan dan keamanan di Ibu Kota baru menjadi pekerjaan besar pemerintah.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rabu (26/6/2019), mengadakan Dialog Nasional ke-2 Pemindahan Ibu Kota Negara. Dialog itu dimaksudkan agar pemerintah mendapat banyak masukan terkait kriteria dan hal-hal yang mesti disiapkan dalam rangka pemindahan ibu kota.
Aspek yang dibahas dalam dialog kali ini menyangkut dampak ekonomi, lingkungan hidup, dan pertahanan keamanan.
Hadir dalam dialog tersebut di antaranya Kepala Staf Kepresidenen Moeldoko, Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, dosen senior Universitas Indonesia Eko Prasetyono, dan Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Industri Pertahanan Nasional Connie Rahakundini Bakrie.
Moeldoko mengatakan, sistem pertahanan di Indonesia menganut mekanisme kompartemenisasi atau berdasarkan pulau-pulau besar. Artinya, apabila ada serangan dari luar, pulau-pulau besar itu paling tidak harus mampu mempertahankan dirinya sendiri.
Kompartemenisasi mensyaratkan kemandirian sebuah pulau atau wilayah. Sarana kebutuhan pokok seperti aliran listrik dan air bersih harus dipastikan tersedia di Kalimantan.
Hal penting dan mendesak untuk dipikirkan adalah memindahkan kekuatan-kekuatan militer ke Kalimantan. Kekuatan militer secara garis besar masih terpusat di Pulau Jawa.
Menurut Moeldoko, pemerintah berkeinginan menyatukan tiga pangkalan militer dari tiga matra. Langkah itu bertujuan meningkatkan wibawa Indonesia di dunia internasional.
“Begitu ada lokasi yang ditentukan, kita akan lihat di mana pelabuhan terdekat, lalu pangkalan angkatan udaranya dibangun. Kemudian nanti kita harapkan lokasinya berdekatan satu sama lain. Sehingga penyatuan tiga matra itu bisa terjadi di sekitar Ibu Kota,” tutur Moeldoko.
Edy mengemukakan, Ibu Kota perlu diperlakukan sebagai zona khusus. Ibu Kota, kata Edy, rentan menjadi target serangan mematikan, utamanya lewat serangan udara. Maka dari itu harus ada regulasi yang mengatur pesawat militer dan komersial yang bisa terbang di atas langit Ibu Kota.
Menanggapi hal tersebut, Moeldoko mengatakan, penguatan perlindungan di udara tidak akan mudah karena butuh jangkauan radar yang luas. Namun, ia sependapat bahwa kekuatan pertahanan udara betul-betul harus dipikirkan.
Connie menilai, setelah Ibu Kota dipindahkan, ancaman paling banyak justru akan dihadapi oleh polisi dan bukan TNI. Salah satunya karena akan terjadi konflik agraria dan konflik berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Memperkuat pertahanan dan keamanan Ibu Kota baru, katanya, tidak bisa dilakukan dengan model yang ada saat ini. Tantangan global sudah berubah dan ancaman bisa datang menghampiri kapan pun. Oleh sebab itu, Connie berpendapat pemerintah sudah saatnya mengubah TNI menjadi tiga matra terpadu dalam sebuah konsep pertahanan yang outward looking.
Bambang menyampaikan, pertahanan untuk bu Kota baru tidak hanya berbicara soal pertahanan di Ibu Kota itu saja, tapi juga menyangkut pertahanan yang sifatnya regional.
Pemerintah untuk sementara ini menyiapkan dua skema pembiayaan. Skema pembiayaan I senilai Rp 466 triliun dan skema II sekitar Rp 323 triliun. Sumber utama pembiayaan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara. Pembiayaan APBN itu datang dari kerja sama pemanfaatan aset.
“Jadi kita tidak akan membuat utang khusus hanya untuk membangun Ibu Kota,” ujarnya.