Gerakan Islam Transnasional Mendominasi Kampus Negeri
Gerakan-gerakan Islam transnasional telah mendominasi kampus negeri. Tidak hanya berkiblat ke luar negeri, gerakan ini cenderung menutup diri dari keragaman Indonesia dan justru hendak menyeragamkan Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia menunjukkan bahwa gerakan-gerakan Islam eksklusif transnasional telah mendominasi kampus-kampus negeri. Dominasi gerakan Islam eksklusif ini tidak hanya berpotensi mengancam keragaman di kampus, tetapi juga Indonesia karena perguruan tinggi negeri merupakan “potret mini” Indonesia masa kini dan masa depan.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (LPPM Unusia) menggelar penelitian kualitatif ini sejak Desember 2018 hingga Januari 2019. Penelitian difokuskan di delapan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, meliputi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Negeri Surakarta (UNS), Insitut Agama Islam Negeri Surakarta (IAIN Surakarta), Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), dan Institut Agama Islam Negeri Purwokerto (IAIN Purwokerto).
Peneliti LPPM Unusia Naeni Amanullah memaparkan, tim peneliti menemukan bahwa sebagian gerakan Islam di kampus berkiblat ke organisasi Islam di Timur Tengah yang merupakan gerakan Islam transnasional. Meski demikian, ada pula gerakan Islam di kampus yang mengakar pada organisasi Islam di Indonesia atau disebut gerakan Islam nasional yang terbuka kepada keragaman di Indonesia.
Temuan yang perlu menjadi perhatian bersama adalah, gerakan-gerakan Islam transnasional yang tampak di PTN-PTN tak sekadar berkiblat ke luar negeri, tetapi juga cenderung menutup diri dari keragaman Indonesia dan justru hendak menyeragamkan Indonesia. Karena ketertutupan pada keragaman itu, gerakan Islam transnasional disebut juga dengan gerakan Islam eksklusif.
“Gerakan Islam eksklusif transnasional yang diperhatikan penelitian ini adalah Gerakan Tarbiyah, Hizbut Tahrir, dan Salafi. Gerakan Tarbiyah berkiblat ke Ikhwanul Muslimin di Mesir. Hizbut Tahrir adalah gerakan internasional mendirikan Khilafah Islam, yang bermanifestasi di kampus antara lain dalam bentuk GP (Gema Pembebasan). Sementara itu, Salafi adalah gerakan pemurnian Islam yang berkiblat ke Wahabisme Arab Saudi, dan bergerak secara kultural di masjid-masjid di sekitar kampus,” paparnya dalam Diskusi Publik “Mendorong Pandangan dan Gerakan Keagamaan Moderat ke Gelanggang Kampus”, Selasa (25/6/2019), di Jakarta.
Gerakan Islam eksklusif transnasional yang diperhatikan penelitian ini adalah Gerakan Tarbiyah, Hizbut Tahrir, dan Salafi.
Anti keragaman
Gerakan-gerakan Islam eksklusif transnasional yang mengklaim paling benar, paling baik dan berupaya mendominasi sekaligus menyingkirkan keragaman potensial mengembangkan intoleransi bahkan ekstremisme kekerasan. Potensi intoleransi dan ekstremisme kekerasan itu perlu diwaspadai antara lain dengan memperhatikan memperhatikan geliat gerakan-gerakan Islam eksklusif transnasional di PTN-PTN itu.
Dalam penelitiannya, LPPM Unusia menemukan sederetan temuan. Pertama, gerakan Tarbiyah telah mendominasi kampus-kampus negeri di Yogyakarta dan Jateng. Kedua, pascapembubaran Hizbut Tahrir, organisasi ini ternyata tetap bergerak diam-diam masuk ke dalam kampus-kampus dengan nama GP.
Pascapembubaran Hizbut Tahrir, organisasi ini ternyata tetap bergerak diam-diam masuk ke dalam kampus-kampus dengan nama Gema Pembebasan.
Ketiga, mesti tidak sepolitis Gerakan Tarbiyah dan Hizbut Tahrir, gerakan Salafi juga menebarkan pengaruhnya di sekitar kampus. Pada tataran tertentu, gerakan ini bisa berkembang menjadi Salafi Jihadis, penebar teror, meski pada umumnya mereka bergerak untuk mentashfiyah (mempurifikasi Islam) secara kultural.
Keempat, LPPM UNUSIA mengidentifikasi bagaimana gerakan-gerakan mahasiswa Islam inklusif, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di kampus-kampus negeri ternyata kalah bersaing dalam perekrutan dan pengembangan kader dan penguasaan pos-pos penting kampus. Kelima, ternyata respon sivitas akademika dalam menyikapi masalah ini kurang menyeluruh dari ranah otoritas kampus dan kurang merata dari ranah para mahasiswa.
Bangun strategi bersama
“Kelompok-kelompok Islam transnasional mampu memformulasikan dan mempromosikan gerakan dengan cepat. Menyikapi hal ini, sekarang bukan hanya mubalig saja yang dibutuhkan, tetapi kita perlu mempersiapkan sistem dan beradaptasi dengan ekosistem kampus yang sudah banyak berubah,” kata Naeni.
Sekarang bukan hanya mubalig saja yang dibutuhkan, tetapi kita perlu mempersiapkan sistem dan beradaptasi dengan ekosistem kampus yang sudah banyak berubah.
Direktur Eksekutif Wahid Foundation Mujtaba Hamdi mengungkapkan, tidak hanya di kampus, proses pengkaderan gerakan Islam eksklusif transnasional bahkan telah dimulai sejak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga proses penyerapan tenaga kerja. Untuk menghadapi fenomena ini, menurut Mujtaba dibutuhkan strategi bersama dengan cara memperkuat aktor-aktor moderat yaitu organisasi-organisasi mahasiswa dan kelompok-kelompok lintas agama.
Selain itu, Mujtaba juga mengusulkan adanya penguatan kebijakan pro-moderasi, melalui perubahan pola Asistensi Agama Islam (AAI) dan menciptakan tata kelola yang inklusif dari ruang-ruang dakwah yang ada. Penguatan pro-moderasi juga harus dilakukan di lingkungan kampus dengan mendorong terciptanya lingkar studi serta munculnya aktor-aktor Islam moderat.
Staf Khusus Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Muhammad Suaib Tohir menambahkan, saat ini dibutuhkan kontra narasi terhadap gerakan-gerakan Islam eksklusif transnasional dengan mengoptimalisasi peran santri dalam pencegahan ekstrimisme serta radikalisme.
“Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah harus bekerja keras membangkitkan semangat para kiai-kiai (dan ustad) terlebih dahulu. Sebab, saat ini ruang-ruang dakwah sudah dikuasai mereka (gerakan Islam ekslusif),” kata dia.
Sebelumnya, BNPT menyatakan bahwa 7 PTN telah disusupi paham radikal. Bahkan, hampir semua PTN dari Jakarta hingga Jawa Timur telah terkena paham radikal dengan tingkat keterpaparan bervariasi. Badan Intelijen Negara (BIN) membenarkan pernyataan BNPT tersebut. Menurut data BIN, 39 persen mahasiswa PTN di 15 provinsi Indonesia tertarik dengan paham radikalisme.
Hampir semua PTN dari Jakarta hingga Jawa Timur telah terkena paham radikal dengan tingkat keterpaparan bervariasi.
Berkembangnya wacana dan gerakan keagamaan eksklusif di kampus juga diteliti oleh Setara Institute Februari-April 2019. Menurut Setara Institute, wacana dan gerakan keagamaan eksklusif dengan ragam variannya sudah mengakar sejak lama, sekitar dua dekade lalu.
“Selain perguruan tinggi, sekolah juga rentan disusupi paham dan gerakan radikalisme. Belum ada satu pun kebijakan spesifik untuk memproteksi sekolah dari penetrasi paham dan radikalisme. Radikalisme masuk ke bangku sekolah melalui alumni, guru, dan kebijakan sekolah,” kata Direktur Riset Setara Institute Halili.