JAKARTA, KOMPAS – Konflik kepentingan dalam pemilihan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dihindari. Jika tidak demikian, tantangan KPK ke depan akan semakin sulit, termasuk tantangan internal.
"Ini bukan soal dobel gaji maupun administrasi tetapi soal benturan kepentingan ketika dia (pejabat kepolisian) menjadi pimpinan KPK. Karena kenyataannya ada banyak sekali kasus tindak pidana korupsi yang terkait dengan institusi kepolisian,” kata Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti, di Jakarta, Rabu (26/6/2019).
Bivitri menyampaikannya dalam diskusi “Menakar Masa Depan Pemberantasan Korupsi dalam Proses Pemilihan Pimpinan KPK”. Diskusi yang diadakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi bertujuan membahas proses pemilihan calon Pimpinan KPK ke depan.
Diskusi ini dimoderatori Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Hadir pula sebagai narasumber antara lain, Pemimpin Redaksi NU Online Savic Ali dan Peneliti ICW Lalola Easter.
Data Anti-Corruption Clearing House menunjukkan, ada dua tindak pidana korupsi berdasarkan profesi atau jabatan polisi pada 2004-2018. Meski tergolong rendah dibandingkan profesi lain, Bivitri menilai, tindak pidana korupsi Kepolisian Negara sebenarnya tinggi.
Hasil survei penilaian integritas oleh KPK pada 2017 menunjukkan keseriusan Kepolisian Negara dalam memberantas korupsi masih tergolong rendah. Rata-rata penilaian integritas berada pada skor 66. Sementara Kepolisian Negara RI menempati skor rendah, yaitu 54,01 dibandingkan lembaga pemerintah pusat dan daerah (Kompas, 22 November 2018).
“Rendahnya tindak pidana korupsi dari polisi bukan berarti kasus korupsi di kepolisian itu sedikit. Ini menunjukkan masih ada batasan atas penuntasan kasus korupsi di lembaga kepolisian,” ujar Bivitri.
Sebelumnya, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian memastikan, sudah terdapat sembilan perwira tinggi (pati) Polri yang mengajukan diri untuk mendaftar sebagai capim KPK. Kesembilan pati itu, antara lain Inspektur Jenderal (Irjen) Antam Novambar, Irjen Dharma Pongrekum, Irjen Coki Manurung, Irjen Abdul Gofur.
Ada pun Brigadir Jenderal (Pol) Muhammad Iswandi Hari, Brigjen (Pol) Bambang Sri Herwanto, Brigjen (Pol) Agung Makbul, Brigjen (Pol) Juansih, dan Brigjen (Pol) Sri Handayani.
Kurnia Ramadhana menyampaikan hal senada. Menurutnya, praktek korupsi di tubuh kepolisian masih tinggi. Dengan begitu apabila sembilan nama tersebut memang tergolong baik, maka seharusnya tetap ditempatkan di kepolisian untuk memperkuat institusinya.
“Kami khawatir penilaian penting ini terlewatkan oleh Kapolri ketika menentukan indikator terhadap sembilan nama yang dituliskan beberapa waktu. Ini sebenarnya menjadi perhatian publik maka dari itu kriteria rekam jejak harus benar-benar diperhatikan,” ujar Kurnia.
Kompetensi
Bivitri menyampaikan, calon pimpinan KPK setidaknya harus memiliki kompetensi dalam memahami kompleksitas pemberantasan korupsi. Sebab, kasus korupsi bukan kejahatan biasa yang pelakunya dapat langsung ditunjuk.
“Kasus korupsi itu berkelindan seperti jaring laba-laba. Ada kaitannya dengan pejabat ini, terus swasta juga terlibat, dan itu kompleksitasnya tinggi. Maka seorang pimpinan harus memiliki setidaknya 10-15 tahun dalam hal penegakan hukum, ekonomi, atau perbankan,” tuturnya.
Tak hanya itu, calon pimpinan KPK juga harus dipastikan tidak memiliki konflik kepentingan dengan penegak hukum lain dan tidak akan mengganggu dalam pengambilan keputusan di level pimpinan. Rekam jejak juga menjadi poin penting yang harus diperhatikan.
Selain itu, Lalola Easter mengatakan pimpinan KPK nantinya harus memiliki kemampuan penanganan korupsi. Sebab, kerja harian pimpinan KPK terkait dengan ekspose perkara, termasuk penetapan seseorang menjadi tersangka sejak mulai diselidiki.
“Maka penting bagi pimpinan KPK untuk memiliki pemahaman kuat terkait hukum pidana dan acara pidana. Itu pengetahuan hukum yang sulit untuk dikesampingkan,” kata Lalola.
Lebih lanjut, calon pimpinan KPK harus memiliki keberanian untuk menolak pelemahan KPK melalui jalur konstitusional. “Perlu diingat bahwa KPK harus memiliki standar di atas institusi lain, pasalnya KPK diharapkan dapat menjadi teladan bagi lembaga lain,” ujarnya.
Sementara itu, terkait adanya isu kelompok radikal di KPK, Savic Ali memandang bahwa itu tidak benar. Menurutnya, ini hanya sebuah isu yang berupaya untuk memperlemah KPK.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, isu radikalisme ini tidak sesuai konteks. Pada intinya, siapa pun yang memiliki rekam jejak melanggar hukum dan berpotensi melanggar hukum di masa depan, tidak seharusnya menjadi pimpinan KPK.
“Polarisasi yang semakin tajam ini bisa menjadi riskan karena dapat memperlemah legitimasi KPK di mata publik. Maka publik seharusnya tidak asal menghakimi karena bagaimana pun, KPK masih menjadi lembaga yang paling kita harapkan melawan korupsi di Indonesia,” kata Savic.