Mereka Tak Ingin ”Monster” Membunuh Anak Indonesia
Pelajar di Cengkareng, Jakarta Barat, mengikuti kegiatan lomba melukis mural di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Cengkareng Utama, Rabu (26/6/2019). Melalui kegiatan ini, pelajar diajak membentengi diri dari ”monster” yang mengancam anak-anak Indonesia.
Oleh
Stefanus Ato
·4 menit baca
Monster bermulut tiga dan bermata lima menyorot tajam kepada seorang gadis kecil yang berada tepat di bawahnya. Puluhan tangan monster dengan perawakan menyeramkan itu siap menyergap gadis kecil yang tampak ketakutan, tetapi lemah tak berdaya.
Monster dan gadis kecil itu merupakan wujud dari lukisan mural milik Athena Violetta (14), pelajar Sekolah Menengah Pertama Negeri 54 Jakarta, di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Cengkareng Utama, Jakarta Barat, pada Rabu (26/6/2019) pagi. Lukisan itu dituangkan dalam kanvas berukuran 80 cm x 120 cm.
Melalui lukisannya, dia ingin mengingatkan akan bahaya perundungan bagi psikis anak.
Ini berangkat dari keprihatinannya akan tingkah laku teman sebayanya yang sering kali terjadi dalam pergaulan, tidak menjaga ucapannya, sehingga menyakiti perasaan orang lain.
”Lukisan ini sepintas seperti gurita, tetapi ini sebenarnya monster. Jadi, bullying (perundungan) itu jahat seperti monster karena mereka merusak psikologi anak melalui kata-kata yang menyakitkan. Akibatnya, anak itu tidak akan percaya diri, trauma, dan takut,” kata siswi kelas 11 itu.
Masalah perundungan mengingatkan pada kasus perundungan fisik yang menimpa A (14), siswi salah satu SMP di Pontianak, Kalimantan Barat, pada akhir Maret 2019.
Dari rilis kepolisian, A diduga menjadi korban perundungan fisik yang dilakukan siswa SMA berinisial N (17), T (16), dan F (16). Kekerasaan itu diduga dipicu masalah pribadi dan sindir-menyindir di media sosial.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia menunjukkan, sepanjang Januari-April 2019, laporan yang diterima lembaga itu didominasi kasus perundungan dan kekerasan psikis, yakni 12 kasus.
Kreativitas
Tak hanya pesan agar perundungan dijauhi, Athena mengatakan, karya yang dihasilkannya itu juga bertujuan menginspirasi anak-anak lain untuk terus mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan potensi atau bakat yang dimiliki.
Athena merupakan satu dari 23 pelajar sekolah menengah pertama di Cengkareng, Jakarta Barat, yang terlibat dalam kegiatan lomba mural yang diselenggarakan bersama oleh Mowilex Indonesia, Suku Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) Jakarta Barat, serta pemerintahan Kecamatan Cengkareng.
Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kreativitas anak sebagai bagian dari upaya mendukung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mewujudkan Jakarta sebagai kota layak anak.
Diselenggarakannya kegiatan masih berkaitan dengan peringatan HUT DKI Jakarta, 22 Juni, dan Hari Anak Nasional, 23 Juli.
Dalam kegiatan itu, mereka dibatasi untuk memilih tema membuat mural seputar isu kekerasan terhadap anak dan perempuan, seks bebas, perkawinan dini, dan penyalahgunaan narkoba. Sebab, selain perundungan, hal-hal itu menjadi ”monster” yang mengancam anak-anak Indonesia.
”Kami ingin anak-anak tahu bahwa bullyng itu bagian dari kekerasan. Selain itu, narkoba juga saat ini bukan lagi merambah kepada yang tua, tetapi yang remaja pun sudah mulai,” kata Kepala Suku Dinas PPAPP Jakarta Barat Unas Affandi menjelaskan alasan tema itu dipilih.
Kegiatan ini diharapkan tidak hanya mengedukasi para remaja untuk membentengi diri dari pengaruh negatif. Namun, mereka juga bisa menjadi pendamping atau konselor bagi teman sebaya di lingkungan bermain atau di sekolah.
RPTRA
Sementara itu, Safety Healt and Environmet & General Affair Departemen Head Mowilex Indonesia Suratman mengatakan, kegiatan ini dilaksanakan di RPTRA dengan tujuan memasyarakatkan RPTRA agar lebih sering dimanfaatkan warga sebagai wahana untuk mengembangkan kreativitas anak. Tolok ukur kota layak anak, terutama di daerah perkotaan, adalah tersedianya taman bermain.
”Sehingga kami mendukung apa pun yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satu tolok ukur (kota layak anak) adalah sisi pengelolaan RPTRA,” kata Suratman.
Sayangnya, keberadaan RPTRA sebagai kota layak anak belum menjangkau seluruh masyarakat di Jakarta Barat. Saat ini, baru terdapat 56 RPTRA yang tersebar di sejumlah kelurahan di wilayah itu. Padahal, idealnya, RPTRA tersedia di setiap rukun warga.
Menurut Unas Affandi, pihaknya kesulitan menambah RPTRA karena susah mencari lahan kosong. ”Tetapi, saat ini sedang ada proses pembangunan taman bermain dan dua RPTRA baru,” ujarnya.
Data dari jakarta-tourism.go.id menyebutkan, pada 2018, Pemerintah Provinsi DKI sudah mendirikan 290 RPTRA di setiap kelurahan. Jumlah itu melampaui target yang ditentukan, yaitu sebanyak 267 RPTRA.