Maluku merupakan wilayah dengan potensi ancaman gempa dan tsunami tertinggi di Indonesia. Kendati demikian, upaya mitigasi bencana di wilayah kepulauan itu dianggap masih jauh dari harapan. Penyebab utamanya adalah rendahnya pagu anggaran yang diberikan untuk sektor tersebut.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Maluku merupakan wilayah dengan potensi ancaman gempa dan tsunami tertinggi di Indonesia. Kendati demikian, upaya mitigasi bencana di wilayah kepulauan itu dianggap masih jauh dari harapan. Penyebab utamanya adalah rendahnya pagu anggaran yang diberikan untuk sektor tersebut.
”Dalam satu tahun, anggaran untuk kebencanaan tidak lebih dari Rp 5 miliar. Jumlah ini sangat kecil. Padahal, dalam garis kebijakan pemerintah daerah, masalah kebencanaan merupakan prioritas,” ujar Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Maluku Farida Salampessy kepada Kompas di Ambon, Selasa (25/6/2019). Total APBD Maluku sekitar Rp 3 triliun.
Menurut dia, anggaran Rp 5 miliar itu diperuntukkan untuk program mitigasi, pencegahan, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehabilitasi serta rekonstruksi. Sasaran penggunaannya adalah 1.231 desa/kelurahan yang tersebar di 118 kecamatan dan 11 kabupaten/kota. Lebih kurang 1,8 juta jiwa penduduk Maluku tinggal di sekitar 300 pulau.
Upaya mitigasi amat sangat kurang.
Farida mengatakan, keterbatasan anggaran itu menyebabkan program mitigasi, pencegahan, dan kesiapsiagaan tidak berjalan merata. Kegiatan tanggap darurat juga dilakukan apa adanya, sementara untuk rehabilitasi dan rekonstruksi bergantung pada pemerintah pusat. ”Upaya mitigasi amat sangat kurang,” ujarnya.
Tingginya risiko gempa di Maluku tergambar pada data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Geofisika Ambon. Sepanjang 2019, telah terjadi 859 kali gempa di wilayah Provinsi Maluku. Pada 2016 sebanyak 1.222 kali, 2017 sebanyak 1.392 kali, dan 2018 sebanyak 1.587 kali.
”Di Maluku tersebar banyak lempeng aktif . Benturan lempeng itu menyebabkan guncangan,” ujar Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Stasiun Geofisika Ambon Andi Azhar Rusdin.
Senin (24/6/2019) pagi, terjadi gempa berkekuatan magnitudo (M) 7,7 yang berpusat di Laut Banda. Guncangannya terasa hingga Nusa Tenggara dan Papua. Setelah gempa pertama, terjadi tiga kali gempa susulan masing-masing dengan kekuatan M 5,2 pada pukul 12.28, kemudian M 4,1 pada pukul 13.27, dan M 4,4 pada pukul 18.37 waktu setempat.
Menurut Andi, gempa tersebut kembali mengingatkan masyarakat Maluku agar menyadari bahwa daerah itu rawan bencana. Kepada pihak terkait, seperti badan penanggulangan bencana di daerah, diharapkan dapat terus memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Banyak masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil di Laut Banda belum mendapatkan sosialisasi sama sekali.
Sebanyak tiga pulau yang berada di dekat pusat gempa pada Senin lalu, yaitu Teon, Nila, dan Serua, merupakan pulau terpencil di Maluku. Tiga pulau yang juga dikelilingi gunung api di darat dan di dasar laut itu belum pernah didatangi pihak penanggulangan bencana untuk sosialisasi. Alasannya, akses transportasi yang sulit.
Dion Marantika (31), tokoh pemuda dari Paguyuban Teon Nila Serua, lewat sambungan telepon mengatakan, komunikasi dengan warga di Pulau Teon dan Nila sudah tersambung. Adapun komunikasi dengan warga di Serua belum terhubung. Komunikasi dengan warga tiga pulau itu mengandalkan radio single side band yang dipancarkan dari Pulau Seram.