Surplus neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2019 menopang penguatan Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG pada Selasa (25/6/2019). Sayangnya, penguatan diprediksi hanya sementara.
Oleh
Ferry Santoso/Dimas Waraditya
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Surplus neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2019 menopang penguatan Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG pada Selasa (25/6/2019). Sayangnya, penguatan diprediksi hanya sementara karena sentimen eksternal. Pemerintah perlu terus berupaya menggenjot ekspor, terutama melalui perbaikan iklim investasi.
IHSG ditutup menguat 31,98 poin atau 0,51 persen di level 6.320,445 pada akhir perdagangan kemarin. Sektor yang mengalami penguatan antara lain pertambangan, industri dasar, dan perkebunan.
Direktur PT Indosurya Bersinar Sekuritas William Surya Wijaya berpendapat, data neraca perdagangan Mei 2019 mendorong optimisme investor. Badan Pusat Statistik mencatat, setelah defisit 2,29 miliar dollar Amerika Serikat (AS) pada April, neraca perdagangan Indonesia surplus 0,21 miliar dollar AS pada Mei.
Kepala Riset Valbury Sekuritas Alfiansyah mengingatkan pelaku pasar bahwa terdapat sentimen global yang akan menghambat pergerakan positif IHSG pekan ini. Sentimen itu adalah rencana Pemerintah AS yang akan menerapkan sanksi baru terhadap Iran. Sikap keras ini bagian dari tekanan AS agar Iran menghentikan program pengembangan nuklirnya.
Investasi
Peningkatan ekspor perlu dipacu dengan perbaikan iklim investasi di sektor industri padat karya sehingga investasi masuk dan pelaku usaha antusias berusaha di Indonesia. Perbaikan iklim investasi antara lain terkait dengan perubahan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat di Jakarta, Selasa (25/6/2019). ”Ekspor produk tekstil bisa meningkat karena daya saing industri membaik,” kata Ade.
Salah satu faktor daya saing membaik, kata Ade, sejak 2015 banyak industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merelokasi pabrik dan mulai membangun pabrik TPT pada 2016 di wilayah Jawa Tengah yang dinilai memiliki iklim usaha yang lebih kondusif. Selama ini, banyak industri TPT yang berada di Jabodetabek dan Jawa Barat.
Dengan merelokasi pabrik TPT ke Jawa Tengah, iklim usaha lebih baik sehingga produktivitas, efisiensi, dan daya saing meningkat. Menurut dia, jika masalah ketenagakerjaan bisa dibenahi, diperkirakan banyak investasi industri TPT yang masuk dan pelaku usaha industri semakin antusias meningkatkan kinerja usaha sehingga kinerja ekspor pun bisa meningkat.
Salah satu masalah ketenagakerjaan yang perlu dibenahi adalah revisi UU Ketenagakerjaan. ”UU itu sudah lama sehingga tidak relevan dengan kondisi sekarang,” katanya. UU ketenagakerjaan saat ini juga dinilai lebih memberatkan pelaku usaha saat kondisi perekonomian global tak menentu dan persaingan semakin ketat.
Produk sawit
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, pasar ekspor produk kelapa sawit memang mengalami tantangan tidak ringan. Misalnya, pasar ekspor produk sawir di pasar India dan Eropa.
Kampanye dan persepsi negatif Eropa terhadap produk minyak kelapa sawit, menurut Joko, dapat memengaruhi persepsi negara-negara di dunia terhadap produk kelapa sawit. ”Kita tidak bisa hanya mengandalkan penanganan masalah ke WTO,” katanya.
Menurut Joko, upaya lain harus tetap dilakukan oleh pemerintah, misalnya, melakukan lobi atau negosiasi perdagangan dalam berbagai forum, termasuk dalam Perjanjian Kemitraan Ekonomi Menyeluruh antara Indonesia dan Uni Eropa (UE). Bahkan, tidak menutup kemungkinan, Pemerintah Indonesia melakukan retaliasi terhadap produk-produk dari Eropa.
Dari data Gapki, pada Maret 2019, kinerja ekspor produk turunan minyak kelapa sawit, baik itu biodiesel, oleochemical, minyak kelapa sawit (CPO), maupun produk turunannya, membukukan peningkatan 3 persen dibandingkan bulan sebelumnya, yaitu dari 2,88 juta ton meningkat menjadi 2,99 juta ton.
Namun, ekspor produk CPO dan turunannya ke India pada Maret 2019 turun 62 persen, yaitu dari 516.530 ton pada Februari menjadi 194.410 ton pada Maret 2019. Penurunan ekspor juga terjadi di pasar Afrika, Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa. Peningkatan ekspor CPO dan produk turunannya justru terjadi di negara-negara Asia, seperti Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia.