JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah akan mengebut pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebelum mengakhiri masa jabatannya. Lepas dari masukan publik agar tidak terburu-buru disahkan, RUU yang pembahasannya sudah berlangsung selama empat tahun itu ditargetkan selesai pada pertengahan Juli mendatang.
Setelah sempat tertunda selama satu tahun, Panitia Kerja DPR dan Pemerintah kembali membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat konsinyering di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (25/6/2019). Pembahasan RKUHP, sebagaimana RUU lainnya, sempat terhenti sejak Mei 2018 lalu karena sebagian besar anggota DPR mencalonkan diri di Pemilihan Legislatif 2019 lalu.
DPR dan Pemerintah pun saat itu sepakat menunda pembahasan RKUHP sampai pemilu rampung pada April 2019. Selain karena banyak anggota DPR tak lagi fokus menjalankan tugasnya di tengah kesibukan kampanye, masih ada beberapa isu juga yang dinilai sensitif untuk dibahas.
Rapat konsinyering antara tim perumus dan tim sinkronisasi DPR dan Pemerintah itu membahas pengelompokan pasal-pasal di draf RKUHP ke dalam lima kluster. Sistem kluster pasal-pasal tersebut dilakukan agar pembahasan dapat diselesaikan dalam waktu cepat.
Anggota Panitia Kerja RKUHP dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, kemarin, mengatakan, pembahasan RKUHP akan dikebut. Targetnya, pada pertengahan Juli sebelum DPR memasuki masa reses terakhir, RKUHP sudah bisa disahkan di rapat paripurna.
“Di masa sidang ini harus sudah selesai. DPR dan pemerintah fokus membahas substansi dan politik hukum, sementara urusan redaksional diserahkan pada tim ahli,” katanya di sela rapat konsinyering yang berlangsung dari siang hingga malam hari itu.
Sebagaimana diketahui, RKUHP menjadi RUU yang paling lama dibahas oleh periode ini, yakni lebih dari empat tahun. Ada sejumlah pasal dalam RUU tersebut yang dianggap sensitif, seperti pasal-pasal terkait kesusilaan, serta pasal-pasal yang mengatur tentang delik tindak pidana korupsi.
Dalam rapat konsinyering, kemarin, disepakati ada lima kluster pasal yang akan segera dibahas. Kluster pertama, khusus untuk membahas pasal-pasal yang substansinya sudah disepakati, tetapi rumusan redaksionalnya masih perlu disempurnakan. Kluster ini terdiri atas 25 pasal di Buku I dan 22 pasal di Buku II. Salah satunya, pasal terkait penodaan agama.
Kluster kedua terdiri dari pasal-pasal yang substansinya belum disepakati, atau sudah disepakati tetapi masih terbuka untuk didiskusikan dan diubah. Kluster ini terdiri dari 53 pasal di Buku I dan 48 pasal di Buku II. Itu termasuk pasal-pasal kesulilaan, bab tindak pidana khusus, serta pasal penghinaan kepada presiden.
Adapun kluster ketiga terkait pasal-pasal yang disepakati untuk dihapus dari draf RKUHP. Kluster ini terdiri dari 18 pasal di Buku I dan 5 pasal di Buku II. Sementara itu, kluster keempat menyangkut penempatan ulang pasal-pasal lintas bab, dan kluster kelima terkait penambahan pasal baru sebanyak 2 Pasal di Buku I dan 5 pasal di Buku II.
Meski demikian, kelompok masyarakat sipil dan pemerhati hukum pidana meminta agar RKUHP tidak terburu-buru disahkan. Peneliti Institute Criminal and Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga mengatakan, pemerintah dan DPR tidak perlu terlalu cepat mengesahkan RKUHP karena masih banyak persoalan dalam rumusan RKUHP, termasuk di antaranya pasal-pasal mengenai delik tindak pidana korupsi.
Terkait delik tipikor, Komisi Pemberantasan Korupsi dan kelompok masyarakat sipil meminta agar delik korupsi tidak dimasukkan ke RKUHP, melainkan diatur dalam undang-undang sendiri. Delik korupsi dinilai lebih baik diatur melalui revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Prinsip luncuran
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas mengatakan, RKUHP disepakati menjadi salah satu RUU yang diprioritaskan untuk dikebut pembahasannya sebelum DPR dan Pemerintah periode 2014-2019 ini mengakhiri masa jabatnya pada akhir September 2019.
“Teman-teman ingin supaya dalam akhir periode ini, RKUHP bisa selesai dibahas,” katanya.
Meski demikian, jika pada akhirnya tidak bisa dirampungkan oleh DPR dan pemerintah periode ini, pembahasan RKUHP akan dilanjutkan ke periode 2019-2024. Menurut Supratman, dengan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, akan diberlakukan prinsip luncuran (carry over) sehingga RKUHP bisa dilanjutkan di periode mendatang tanpa perlu dimulai lagi dari nol.
“Kami usulkan agar yang tidak selesai bisa di-carry over agar dokumen negara, naskah akademik dan perkembangan draf RUU yang dibahas sekarang tidak mubazir,” katanya.